Gusti
Jakarta, helloborneo.com – Salah satu agenda Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI hari ini Kamis (2/6) adalah pengesahan Revisi UU Pilkada. Setelah beberapa minggu dibahas antara Komisi II dengan pemerintah, akhirnya DPR RI menyetujui pengesahan Revisi UU Pilkada.
Secara khusus Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengapresiasi Komisi II terutama anggota Panja RUU Pilkada. Komisi II bukan hanya merevisi tetapi juga menyempurnakan agar UU Pilkada tidak multitafsir, sehingga tidak digugat di Mahkamah Konstitusi seperti UU sebelumnya. Selain merevisi, Komisi II juga merumuskan beberapa ketentuan baru.
Pembahasan berjalan cukup alot dan mendalam, ada beberapa pandangan berbeda antar fraksi dan pemerintah sehingga tenggat waktu pengesahan pun mundur dari jadwal yang sudah ditentukan. UU ini juga akan menjadi acuan penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu dalam menyusun tahapan Pilkada tahun 2017.
“Kami sudah membahas Revisi UU dengan pemerintah ini secara mendalam, menghabiskan banyak waktu, hal itu semata-mata untuk menghasilkan Pilkada yang berkualitas kedepannya” ujar Hetifah Sjaifudian, anggota Panja RUU Pilkada yang ditemui seusai rapat paripurna di Komplek DPR.
Berapa poin yang dibahas cukup alot tersebut diantaranya terkait syarat dukungan parpol, syarat mundurnya anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta syarat cuti bagi kepala daerah (Incumbent) yang maju lagi dalam Pilkada. Tetapi dipenghujung pembahasan akhirnya DPR bersepakat untuk mengikuti usulan dari pemerintah.
Selain itu, Jika pada UU sebelumnya belum diatur sanksi bagi pelaku praktik politik uang, dalam UU yang baru disahkan ini diatur secara tegas sanksi bagi orang yang melakukan politik uang, baik pasangan calon dan tim sukses pasangan calon.
“Dalam UU Pilkada ini diatur lebih detail sanksi pelaku politik uang. Saya berharap ini dapat mencegah pihak-pihak yang akan melakukan politik uang di Pilkada nanti,” tegas Hetifah.
Untuk diketahui, dalam pasal 187A disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada Warga Negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Terkait dengan penyelenggara Pemilu, Hetifah Menuturkan bahwa rekrutmen petugas pemilu akan dilakukan lebih transparan. Menurutnya ini akan menjaga independensi penyelenggara Pemilu.
“Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, di UU ini kami mengatur rekrutmen penyelenggara Pemilu seperti PPK dan KPPS yang dilaksanakan secara lebih transparan dan terbuka. Semoga ini turut menjaga integritas dan independensi penyelenggara Pemilu”, tegas legislator dari Partai Golkar tersebut. (adv/rol)