Ibu Kota Negara Baru Indonesia Untuk Siapa?

Keterangan Pers Koalisi Masyarakat Sipil

Samarinda, helloborneo.com – Hasil kajian yang dilakukan koalisi masyarakat sipil menyangkut pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke wilayah Provinsi Kalimantan Timur, menimbulkan sebuah pertanyaan, ibu kota negara baru Indonesia untuk kepentingan siapa?

Koalisi masyarakat sipil saat memberikan keterangan pers menyangkut pemindahan ibu kota negara Indonesia

Selama lebih kurang tiga bulan koalisi masyarakat sipil yakni JATAM Nasional, JATAM Kalimantan Timur, WALHI Nasional, Walhi Kalimantan Timur, Trend Asia, Forest Watch Indonesia, Pokja 30, serta Pokja Pesisir dan Nelayan melakukan kajian tersebut.

Kawasan ibu kota negara baru menurut Koordinator JATAM Nasional Merah Johansyah, bukanlah ruang kosong, di mana terdapat 162 konsesi pertambangan, kehutanan, sawit, PLTU batu bara hingga properti.

Sebanyak 158 dari 162 konsesi tersebut lanjut ia, adalah konsesi batu bara yang masih menyisakan 94 lubang tambang menganga. Nama-nama tenar dalam bentang politik Indonesia ada di balik kepemilikan konsesi perusahaan tersebut.

“Perusahaan punya kesempatan pertama untuk memastikan investasi mereka aman dan bersiasat dengan megaproyek ibu kota negara,” ujar Merah Johansyah.

Namun sebaliknya tegasnya, suara masyarakat asli Suku Paser Balik diabaikan setelah ruang hidup mereka dirampas oleh PT ITCI saat masuk kawasan tersebut tahun 1960-an.

“Jelas hanyalah bagi-bagi proyek pemindahan ibu kota negara itu untuk para pendukung politik yang berlatar bisnis batu bara. Pemenuhan kebutuhan energi ibu kota negara baru diperkirakan 1,5 GW memberi ruang untuk membangun PLTU batu bara lebih besar di Kalimantan Timur,” kata Direktur Eksekutif Trend Asia Yuyun Indradi.

Ia menimpali lagi, saat ini sebanyak 150 keluarga Paser Balik di Desa Pemaluan, Kecamatan Sepaku atau ring satu ibu kota negara baru di Kabupaten Penajam Paser Utara kembali cemas karena keputusan Jokowi memindahkan ibu kota tidak pernah meminta pendapat mereka.

Bahkan, setelah diumumkan proyek ibu kota baru, PT ITCI Hutan Manunggal semakin memperluas penguasaan lahan yang mengorbankan wilayah adat.

Tidak hanya keberlangsungan hidup masyarakat adat jelas Yuyun Indradi, eksistensi tanaman bakau (mangrove) sebagai ruang hidup masyarakat dan sumber makanan bagi fauna di sekitarnya juga terancam.

“Hasil kajian menunjukkan, lebih dari 16 ribu hektar ekosistem ‘mangrove’ terancam hilang akibat rencana pemindahan dan pembangunan ibu kota negara” tambah Anggi Prayogi Putra, peneliti Forest Watch Indonesia.

Forest Watch Indonesia intens melakukan kajian khususnya di Teluk Balikpapan sejak 2016. Bersama masyarakat pesisir di teluk, mereka mengusulkan agar daerah tersebut dijadikan sebagai area perlindungan (kawasan konservasi).

“Beban lingkungan di Kalimantan Timur yang sudah berat oleh ekstraksi sumber daya alam akan bertambah menjadi krisis multidimensi oleh perluasan penyangga ibu kota, dan memperluas ketimpangan ekonomi karena para pemegang konsesi menjadi tuan tanah perluasan pembangunan ibu kota,” ucap Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI Zenzi Suhadi. (bp/hb)  




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses