Jakarta, helloborneo.com – Minggu depan sebuah film yang mengisahkan tentang keluarga yang memiliki anak disabilitas akan dirilis. Film ini menjadi pembicaraan publik karena merupakan film komersil pertama yang mengajak warga menghargai kesetaraan hak warga disabilitas. Film diawali dengan kehadiran Tegar, seorang anak difabel yang tidak didukung ibunya sendiri, yang malu dengan keberadaannya, sehingga ia dilarang sekolah atau mengenal lingkungan lain di luar rumah.
Satu-satunya orang yang mendukung Tegar adalah sang kakek, yang diperankan oleh aktor kawakan Deddy Mizwar. Namun dukungan sang kakek agar cucunya berani menghadapi dunia dan tidak malu dengan kondisinya, harus terhenti ketika sang kakek meninggal dunia. Tegar pun harus menjalani hari-hari tanpa dukungan ibunya. Sementara ayahnya telah meninggalkannya saat dia bayi.
Salah satu pemeran di Film Tegar, Deddy Mizwar, mengatakan film ini memaparkan tentang urgensi perlunya memahami dan menghormati kesetaraan hak anak-anak disabilitas.
“Mudah-mudahan menginspirasi kita, karena ini berbicara tentang kesetaraan, terutama anak-anak yang disabilitas. Mungkin menginspirasi bagi kita semua, membuka ruang kesempatan bagi mereka anak-anak disabilitas untuk menunjukkan kemampuan mereka. Mereka mungkin susah buat kita lakukan, tapi buat mereka mudah. Yang susah dia lakukan mungkin mudah buat kita lakukan,” kata Deddy Mizwar.
Film inklusi pertama yang dibintangi oleh Aldifi Tegarajasa, Deddy Mizwar, dan Sha Ine Febriyanti, ingin menginspirasi semua anak khususnya penyandang disabilitas untuk berani meraih mimpi setinggi-tingginya. Seperti penuturan Anggie Frisca, sutradara Film Tegar.
“Semoga film ini bisa menjadi inspirasi, bisa menjadi semangat kita untuk meraih mimpi, dan membuka ruang kesempatan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus,” tuturnya.
AAI Apresiasi Upaya Tingkatkan Kesadaran pada Isu Disabilitas Lewat Film
Ketua DPD Autism Awareness Indonesia (AAI) Jawa Timur, Vivin Komalia, mengapresiasi upaya mengajak masyarakat untuk tidak lagi mendiskriminasi anak-anak berkebutuhan khusus, lewat media film.
“Sudah waktunya kita tidak mendiskriminasi anak-anak istimewa ini, anak-anak berkebutuhan khusus. Jadi, di tengah-tengah keterbatasan mereka, mereka memiliki keistimewaan yang lain, yang kadang-kadang kita juga tidak mampu, dan kita tidak punya,” katanya.
Vivin menambahkan, pemerintah di tingkat pusat maupun daerah, sudah seharusnya memikirkan dan mewujudkan kemudahan akses serta fasilitas publik bagi penyandang disabilitas, yang hingga hari ini masih banyak yang belum disediakan.
“Mempermudah untuk anak-anak berkebutuhan khusus dalam sarana seperti di tempat-tempat publik, semacamnya seperti itu, diberikan keistimewaan atau pun diberikan fasilitas khusus untuk anak-anak disabilitas,” tegasnya.
Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elistianto Dardak, mengajak masyarakat lebih peduli dan memahami kesetaraan hak setiap orang, termasuk penyandang disabilitas, dengan menjadikan film Tegar ini sebagai tuntunan dalam bersikap terhadap sesama manusia.
“Tidak gampang di tengah realita hari ini, kita merasa hari ini orang berlomba-lomba menciptakan sensasi, dan sensasi inilah yang viral. Hari ini eranya viral, sensasi, kita masyarakat Indonesia, Jawa Timur tidak terkecuali, ini jangan sekedar mengejar tontonan istilahnya, tapi tuntunan. Nah, apa yang ditampilkan ini adalah suatu hal yang menginspirasi kita semua, membuat kita lebih bersyukur anugerah hidup yang kita terima,” kata Emil Dardak.
Film Bertema Disabilitas di AS
Upaya mendorong publik menghargai kesetaraan hak dan kewajiban kelompok difabel lewat film juga makin sering dilakukan beberapa tahun terakhir ini. Tahun 2020 lalu perusahaan produksi film milik mantan Presiden Barack Obama merilis “Crip Camp,” yang mengisahkan tentang Kamp Jened yang pada tahun 1950an – 1970an telah menyambut dengan tangan terbuka kehadiran warga difabel, ketika banyak kamp serupa tidak melakukannya.
Film drama romatis tentang kehidupan fisikawan Stephen Hawking, “The Theory of Everything” pada tahun 2014 bahkan merebut lima anugrah Oscar untuk aktor dan aktris terbaik, film terbaik, scenario terbaik dan lagu terbaik. Film ini tidak memotret kehidupan Stephen Hawking sebagai orang genius, pemikir ilmiah paling cemerlang yang memajukan pemahaman manusia tentang alam semesta, tetapi lebih pada bagaimana ia mengatasi penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis) yang juga dikenal sebagai penyakit Lou Gehrig. ALS membuat Stephen Hawking secara perlahan kehilangan fungsi anggota tubuhnya.
Sementara “Ray” yang menyajikan kehidupan musisi dan penulis lagu tunanetra Ray Charles dari masih kanak-kanak hingga menjadi musisi paling berpengaruh sepanjang masa, memotivasi berdirinya banyak organisasi yang memusatkan perhatian pada tunanetra dan masalah yang mereka hadapi. Sekali lagi film terbukti berhasil mendorong perhatian pada isu-isu yang tidak biasa, seperti soal disabilitas. (voa/log)