Jakarta, helloborneo.com – Pemerintahan diharapkan menaruh perhatian lebih kepada perempuan dengan HIV/AIDS, karena mereka kerap menghadapi berbagai persoalan sosial yang menganggu proses pengobatan mereka.
Tantangan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), terutama bagi perempuan, di tanah air masih cukup tinggi. Ayu Oktariani anggota Dewan Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPP) — sebuah jaringan nasional pertama bagi perempuan Indonesia dengan HIV dan terdampak AIDS — mengungkapkan hal tersebut.
Menurutnya, pemerintah sejauh ini hanya melihat persoalan perempuan dengan HIV/AIDS bisa terselesaikan dengan pemberian antiretroviral (ARV).. Padahal, masih banyak perempuan dengan HIV/AIDS yang memiliki masalah sosial lain yang sering kali berdampak signifikan terhadap pengobatan mereka.
“Ya kaya saya minum obat, sehat, pulih kemudian produktif kembali. Tapi banyak yang tidak melihat konteks lain, bahwa tidak semua perempuan seperti saya yang mungkin punya privilege pada informasi, pendidikan dan sebagainya. Di luar sana banyak sekali perempuan perempuan dengan HIV yang juga mengalami kekerasan berbasis gender. Jadi ada konteks setelah mereka terinfeksi HIV, itu peningkatan mereka mendapatkan kekerasan sangat tinggi.” ungkap Ayu di Jakarta.
Menurutnya, fasilitas layanan kesehatan sudah seharusnya menaruh perhatian lebih kepada kaum perempuan dengan HIV/AIDS apabila proses pengobatan mereka tidak berlangsung mulus.
“Menurut saya kemudian harus ada catatan dari layanan kesehatan untuk mereka bisa melihat lebih dalam. Kalau misalnya ada pasien perempuan, pada waktu tertentu mereka tidak datang, atau kemudian lost to follow up, itu bisa dibaca. Mereka bukan malas. Itu ada persoalan lain di belakangnya. Perlu ditanya persoalan rumah tangganya mereka, apakah kemudian mereka dapat kekerasan dan lain sebagainya,” tuturnya.
Ayu, yang juga penyandang HIV/AIDS, mengungkapkan perempuan juga memiliki kompleksitas tubuh yang seringkali tidak diperhatikan oleh pemerintah. Menurutnya, sudah seharusnya mereka mendapatkan penawaran perawatan atau pengobatan lainnya.
“Jadi, menurut saya dokter itu harus jemput bola untuk melihat potensi bahwa perempuan punya kebutuhan non medical, tapi lebih kebutuhan mereka, seperti akses kepada kesehatan reproduksi, pemeriksaan pap smear, apakah dia mau merencanakan kehamilan, apakah dia menggunakan kontrasepsi, itu harus lebih dalam ditanyakan termasuk kalau mereka punya anak HIV. Itu juga harus ditanya karena orang tua punya peran, kalau kemudian orang tuanya tidak selesai dengan dirinya, punya persoalan-persoalan sosial lainnya, anaknya itu pasti keteteran, gak kepegang,” tuturnya.
Sejauh ini, data menunjukkan bahwa jumlah pengidap HIV/AIDS di tanah air masih didominasi oleh kaum laki-laki. Data kumulatif dari tahun 2010 sampai September 2022 menunjukkan jumlah perempuan yang mengidap HIV/AIDS mencapai 168.599, sedangkan jumlah laki-lakinya mencapai 290.262. Data tersebut, kata Ayu, terus meningkat setiap tahunnya.
Ayu menegaskan, meski jumlah kasus lebih rendah, kompleksitas kaum perempuan dengan HIV/AIDS lebih buruk dari lawan jenisnya. Kaum hawa ini, ungkap Ayu, seringkali memiliki beban ganda dalam permasalahan ini.
“Karena pengobatannya harus dua orang, anak saya saja deh karena mungkin dia datang ke akses layanan yang berbayar, sehingga dia harus menghitung siapa yang harus dapat. Jadi banyak situasi yang mengakibatkan perempuan mungkin lack of access, karena memang dia gak mau akses, atau dia gak bisa karena tadi ada potensi dilarang semua, atau dia belum buka status sama pasangannya. Jadi potensi-potensinya sangat besar, tapi saya bisa melihat ada kecederungan ke arah sana,” katanya.
Kemenkes: Kasus Baru HIV/AIDS di Indonesia Didominasi Usia Produktif
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) dokter Maxi Rein Rondonuwu mengungkapkan pihaknya akan fokus menangani kasus HIV/AIDS yang saat ini banyak menyerang usia produktif.
Ia menjelaskan, kasus HIV/AIDS khusus pada kelompok anak pada saat ini tidak hanya disebabkan oleh penggunaan jarum suntik, tetapi juga hubungan seksual. Maka dari itu, pihak Kemenkes harus berupaya memperkuat skrining awal kepada ibu hamil serta memberikan edukasi kepada kelompok remaja di sekolah.
“Yang positif kita obati tadi disampaikan kalau ibu hamil sedini mungkin dideteksi dan minum ARV itu 100 persen dia tidak akan menular ke anak-anaknya dengan catatan dia minum teratur ARV-nya. Berikutnya lagi tentu penguatan, yaitu edukasi, terutama pada kelompok-kelompok remaja. ungkap Maxi.
Lebih jauh, Maxi mengklaim bahwa skrining atau atau deteksi dini penderita HIV/AIDS semakin hari sudah semakin baik. Namun, hal tersebut tidak sebanding dengan tingkat penderita yang mendapatkan akses ke fasilitas layanan kesehatan.
“Skrining penemuan kasus kita dari estimasi 526 ribu kasus, kita sudah mencapai 400 ribu atau 453 ribu. Tetapi yang paling menyedihkan dari 400 ribu, yang pernah mengkonsumsi ARV cuma 300 ribu,” tuturnya
Menurutnya, pemerintah saat ini sudah memiliki 10.100 tempat skrining HIV/AIDS baik di puskesmas dan di rumah sakit. Namun, kata Maxi, hanya 30 persen penderita HIV/AIDS yang bisa menjangkau akses di fasilitas-fasilitas layanan kesehatan tersebut akibat berbagai faktor, seperti biaya dan jarak. (voa/log)