Jepang, helloborneo.com – Para peneliti telah melaporkan obat percobaan untuk mengatasi Alzheimer. Menurut seorang peneliti, hasil obat itu sangat signifikan dalam pengobatan Alzheimer. Seorang pasien menyebut obat tersebut sebagai penyelamat. Pertanyaannya kini, seberapa jauh manfaat obat itu bagi kehidupan orang-orang?
Produsen obat Jepang, Eisai, dan mitranya di Amerika Serikat, Biogen, mengumumkan awal musim gugur ini bahwa obat yang mereka produksi, lecanemab, tampaknya memperlambat Alzheimer. Keberhasilan obat itu sangat dibutuhkan guna meredam kekecewaan akibat kegagalan berulang kali dalam pencarian obat Alzheimer yang lebih baik.
Kini, tim peneliti bisa mengintip hasil lengkap dari studi terhadap hampir 1.800 orang yang berada pada tahap awal penyakit yang merampok memori dan kemampuan mengingat itu. Data itu dipresentasikan pada pertemuan Alzheimer di San Francisco dan terbit dalam New England Journal of Medicine.
Setiap dua minggu selama 18 bulan, sebagian peserta penelitian menerima obat infus lecanemab. Sebagian lain mendapat infus obat plasebo.
Tim meneliti peserta uji coba dengan menggunakan skala 18 poin yang mengukur kemampuan kognitif dan fungsional. Pada mereka yang diberi lecanemab, tampak penurunan Alzheimer secara perlahan. Kesimpulannya, perbedaan itu tidak sampai setengah poin pada skala tersebut, ujar tim yang dipimpin Dr. Christopher van Dyck di Yale University. Penerima lecanemab juga 31 persen lebih kecil kemungkinan penyakitnya semakin parah dalam penelitian.
Pada awal 90-an, John Hardy, yang kini merupakan profesor ilmu saraf di Institut Neurologi University College London (UCL), ikut dalam tim yang pertama kali menemukan mutasi amiloid pada penyakit Alzheimer. Mereka berhipotesis jika kita bisa membersihkan amiloid dari otak, mungkin ada efek klinis yang menguntungkan.
“Jika Anda bertanya kepada saya 30 tahun yang lalu berapa lama waktu yang dibutuhkan, saya akan mengatakan lima sampai 10 tahun. Jadi, bagi saya, tampaknya sangat penting. Menurut saya, bagi pasien, ini adalah langkah maju yang nyata,” kata Hardy.
Hardy tidak terlibat dalam uji coba itu, namun telah berkonsultasi dengan produsen obat Eisai. Tetapi dokter terpecah atas seberapa besar manfaat obat itu bagi pasien dan keluarga mereka.
Obat yang menarget amiloid bisa menimbulkan efek samping yang mencakup pembengkakan dan pendarahan di otak. Obat lecanemab juga menyebabkan efek samping pada sekitar 13 persen penerima. Eisai mengatakan, efek samping itu umumnya ringan atau tanpa gejala.
Selain itu, dua kematian telah dilaporkan secara terbuka di antara pengguna lecanemab yang juga mengonsumsi obat pengencer darah untuk masalah kesehatan lainnya. Eisai mengatakan pada Selasa (29/11) lalu bahwa kematian itu tidak bisa dikaitkan dengan obat Alzheimer yang mereka produksi.
Di Amerika Serikat, Badan Pengawas Makanan dan Obat (FDA) sedang mempertimbangkan mempercepat persetujuan lecanemab. Diperkirakan, mereka akan menyampaikan keputusan pada awal Januari. Jika disetujui, itu akan menjadi obat antimiloid kedua di pasaran.
Hampir semua obat yang ada untuk enam juta pasien Alzheimer di Amerika, dan jutaan penderita lainnya di seluruh dunia, hanya meredakan gejala untuk sementara.
Pasien Alzheimer, John Teeling, mengatakan, ketika didiagnosis menderita penyakit itu delapan tahun lalu, ia merasa “akan segera mati”. Teeling adalah pensiunan insinyur mesin. Berita tentang lecanemab adalah harapan kesembuhan bagi Teeling. Ia menggambarkan penyakit itu sebagai “kematian panjang”.
“Adanya obat ini, bagus, bukan? Apa saja yang bisa menunda atau memberi saya harapan,” ujar Teeling.
Tim peneliti sedang mempersiapkan untuk menguji lecanemab dengan obat percobaan lain. Mereka juga akan mempelajari cara kerja obat itu pada orang yang berisiko tinggi sebelum orang itu menunjukkan tanda-tanda awal masalah memori. (voa/log)