Jakarta, helloborneo.com – Belasan LSM melayangkan surat yang menuduh Indonesia menghalangi penelitian ilmiah terkait konservasi. Surat tersebut merupakan tindak lanjut atas larangan Jakarta terhadap sekelompok akademisi asing yang menentang klaim resmi pemerintah bahwa jumlah orangutan meningkat.
Indonesia adalah rumah bagi hutan hujan tropis tertua di dunia di mana orangutan yang terancam punah. Satwa tersebut kehilangan habitatnya sebagai dampak dari merajalelanya aktivitas penebangan, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan di Tanah Air.
Sebanyak 18 LSM, termasuk Greenpeace dan Amnesty International, melayangkan surat keberatan resmi tersebut kepada Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) pada Kamis (1/12). Mereka mendesak pemerintah mencabut larangan yang diberlakukan terhadap lima ilmuwan Barat pada September, dan mendesak pemerintah mengizinkan para peneliti untuk bekerja dengan bebas.
Para LSM tersebut dapat memutuskan untuk mengajukan gugatan jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Kelima akademisi tersebut – semuanya berbasis di luar Indonesia – menulis opini di sebuah surat kabar lokal mengutip penelitian yang menunjukkan populasi orangutan di Tanah Air menurun. Mereka membantah klaim resmi pemerintah yang mengatakan jumlah spesies langka tersebut akan bertambah.
Pemerintah kemudian melarang kegiatan mereka di saat tulisan tersebut diterbitkan.
LSM menyebut pelarangan itu anti-sains dan membatasi kebebasan akademik. Mereka menuntut pemerintah melakukan permintaan maaf secara publik atas apa yang mereka katakan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dengan membungkam perbedaan pendapat.
“Ini merupakan wujud penguasaan kekuasaan atas produksi ilmu pengetahuan yang telah melanggar prinsip kebebasan akademik,” kata mereka dalam keterangannya, Kamis.
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan langkah kementerian itu “otoriter”, menekankan bahwa data yang kredibel sangat penting untuk kebijakan lingkungan yang baik.
“Jika datanya tidak memiliki kredibilitas, kebijakan tidak akan menyelesaikan masalah seperti deforestasi, kebakaran hutan, atau populasi orangutan,” kata Rompas kepada AFP.
KLHK tidak menanggapi permintaan komentar dari AFP.
“Kami masih menunggu tanggapan kementerian untuk melihat langkah selanjutnya seperti apa,” kata Rompas.
Perburuan dan hilangnya habitat telah memusnahkan populasi orangutan di negara Asia Tenggara itu sebelum virus corona muncul sebagai ancaman lain bagi mamalia, yang 97 persen DNA-nya sama dengan manusia.
Kurang dari 120.000 orangutan diperkirakan tetap berada di alam liar sebelum perselisihan ini terjadi, tetapi jumlah pastinya tidak diketahui.
Populasi orangutan di Kalimantan sendiri anjlok dari sekitar 288.000 pada 1973 menjadi sekitar 100.000 pada tahun 2017, menurut International Union for Conservation of Nature.
Surat dari LSM tersebut juga meminta pemerintah bekerja dengan para ilmuwan untuk mencapai perkiraan jumlah orangutan yang disepakati pada saat ini. (voa/log)