Jakarta, helloborneo.com – Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan kenaikan inflasi pada akhir tahun merupakan musiman karena ada peningkatan permintaan akibat liburan sekolah, Natal, dan Tahun Baru. Permintaan tersebut setidaknya terjadi pada komoditas pangan dan tarif angkutan. Kondisi ini juga terjadi pada akhir 2022 yang kemudian mendorong inflasi menembus 5,51 persen secara tahunan atau 0,66 persen secara bulanan.
“Ini adalah siklus bulanan, dimana kalau kita lihat empat bulan terakhir tertinggi ada di Desember 2022. Dan kalau kita lihat penyumbang inflasi di masing-masing tahun memiliki pola yang sama,” jelas Margo Yuwono dalam konferensi pers.
Margo menambahkan inflasi tertinggi terjadi di Kotabaru, Kalimantan (8,65 persen) dan terendah di Sorong, Papua (3,26 persen). Selain itu, sejumlah wilayah yang menyumbang inflasi nasional di antaranya Kota Baubau, Bukittinggi, dan Bandung.
Margo juga menyebutkan perekonomian global mengalami sejumlah guncangan sepanjang 2022. Akibatnya pertumbuhan ekonomi menjadi tertahan dan terjadi tekanan inflasi yang lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
“Misalkan Amerika Serikat inflasi tinggi karena dipicu inflasi karena energi dan makanan. Inggris, Jerman, Turki, Jepang, dan Korea Selatan juga demikian,” tambahnya.
Selain inflasi, menurut BPS, faktor lainnya yang mengakibatkan guncangan perekonomian global yaitu perang dan ketegangan geopolitik di sejumlah wilayah yang mendisrupsi rantai pasok. Dampaknya kemudian memicu kenaikan harga pangan dan energi.
Begitu pula, pulihnya permintaan setelah pandemi COVID-19 mengakibatkan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan yang memicu kenaikan harga komoditas.
Pengamat Minta Pemerintah Waspadai Inflasi Desember 2022
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira tidak sependapat dengan BPS yang menyebut inflasi Desember 2022 sebagai musiman. Ia beralasan besaran inflasi ini terbilang tinggi dibandingkan inflasi pada tahun sebelum pandemi yang berkisar 2-3 persen. Karena itu, ia meminta pemerintah mewaspadai inflasi Desember 2022 yang menembus 5,51 persen.
“Jadi fenomena ini sebenarnya tidak wajar. Makanya di banyak negara pasca-pandemi mengalami stagflasi, inflasi tinggi tapi kesempatan kerja rendah,” ujar Bhima.
Bhima mengingatkan pemerintah agar berhati-hati supaya tidak terjebak stagflasi. Mengutip website Kemenkeu, stagflasi merupakan situasi ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan yang lambat dan tingkat pengangguran yang tinggi disertai dengan inflasi.
Menurutnya, masyarakat akan mengerem belanja yang bersifat sekunder dan mendahulukan kebutuhan pokok jika nantinya terjebak dalam stagflasi. Di sisi produsen, kenaikan bahan baku akan mendorong kenaikan harga di tingkat konsumen dan akan memengaruhi konsumsi rumah tangga.
Karena itu, ia menyarankan pemerintah mengambil kebijakan yang tepat untuk mencegah Indonesia masuk dalam jebakan stagflasi. Salah satunya dengan menurunkan harga BBM subsidi yang menjadi sumber inflasi hingga akhir tahun 2022.
“Pemerintah seharusnya cepat menurunkan harga BBM subsidi pertalite dan solar. Karena dengan cara itu, pemerintah bisa membantu pemulihan daya beli.”
Sedangkan untuk sumber inflasi pangan, ia menyarankan pemerintah untuk memberikan subsidi pupuk dan bantuan pembiayaan bagi petani untuk memutus mata rantai inflasi. Tanpa kebijakan ini, petani akan terbebani suku bunga yang naik dan mengakibatkan harga pangan naik. (voa/log)