Subur Priono – Humas Setkab Penajam Paser Utara
Penajam, helloborneo.com – Perubahan yang terjadi pada lingkup nasional maupun global, belakangan ini berkembang pesat dan dinamis, sehingga perlu disikapi dan dicermati secara bijak. Termasuk oleh para pejabat Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kalimantan.
Terkait dengan hal itu, dilakukan pencerahan dari Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) kepada sejumlah pejabat provinsi se-Kalimantan, agar memiliki pengetahuan dan wawasan lebih luas, sehingga mampu memberi masukan, arah dan kebijakan kepada Gubernur dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kegiatan yang dibuka langsung oleh Gubernur Kalimantan Timur Dr. Awang Faroek Ishak tersebut diisi sejumlah pemateri dalam kegiatan tersebut, yaitu Prof M Ryaas Rasyid MA, Dr Aviliani, dan Prof Muchlis Hamdi MPA serta Prof Bahtiar Effendi.
Wakil Bupati Penajam Paser Utara Mustaqin MZ juga turut hadir sebagai peserta bersama pejabat se-Kalimantan pada kegiatan pencerahan dari APPSI yang digelar di Hotel Green Senyiur Balikpapan, Senin, (11/4) tersebut.
Dijabarkan Indonesia adalah negara dengan beragam budaya, bahasa, suku dan agama. Ada yang berpendapat bahwa hal yang sedemikian itu adalah aset atau modal yang sangat berharga untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh para pendiri negara.
Keberagaman dipandang sebagai berkumpulnya berbagai potensi yang dapat memperkuat eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian jelas bahwa keberagaman potensi menjadi faktor penting bagi keberlangsungan, perkembangan dan kemajuan sebuah negara.
Namun jauh sebelum Indonesia merdeka, ketegangan atau kekerasan yang dipicu oleh faktor sosial, budaya, etnis dan agama telah berlangsung di Indonesia. Sejak itu pula, para pemuka agama, suku masyarakat dan pemerintah berusaha mencari jalan keluar yang memungkinkan agar akar permasalahan bisa diselesaikan.
Jalan keluar tersebut ada yang berupa peraturan yang berupa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, ada pula yang berwujud kesepakatan yang dinegosiasikan oleh masyarakat itu sendiri.
Secara umum kondisi kehidupan umat beragama di Indonesia boleh dibilang baik. Tidak terdapat ketegangan atau konflik yang berpotensi mengganggu atau mengusik stabilitas dan keamanan nasional. Apalagi merusak bangunan NKRI.
Meskipun demikian kenyataan, bahwa ketegangan yang berbasis keagamaan pernah muncul ditengah-tengah masyarakat.
Pemicu utamanya antara lain, penyebaran agama yang mengandung unsur prosetelesasi dengan tujuan mengajak orang atau komunitas untuk mengikuti suatu agama, pendirian rumah ibadah dan pendanaan kegiatan keagamaan yang bersumber dari luar.
Tiga hal diatas sangat sensitif di dalam kehidupan beragama. Tak mudah membuat aturan dan kebijakkan yang memuaskan semua pihak. Terlebih lagi menyelesikan persoalan ketika konflik keagamaan muncul.
Sebab agama merupakan persoalan yang amat pribadi, namun bisa menjadi sumber solidaritas komunal yang seringkali melampaui kemampuan batasan-batasan rasional.
Pada dasarnya UUD 1945 memberikan landasan konstitusional yang cukup bagi pelaksanaan kebebasan kehidupan beragama, yang tertuang pada pasal 29 ayat (2) di mana negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Berkaitan dengan pendirian rumah ibadah, pengaturan pokoknya adalah harus memperoleh ijin dari pemerintah dan persetujuan masyarakat sekitar dengan memperhatikan lingkungan dan kebutuhan akan rumah ibadah yang akan dibangun.
Gangguan terhadap kerukunan umat beragama tidak hanya terjadi antara satu agama dengan agama lainnya. Melainkan juga terjadi antar penganut agama yang sama atau yang memiliki kemiripan asal-usul yang nyata.
Dalam hal ini dapat dicontohkan hubungan antara muslim sunni dan muslim syi’ah serta hubungan kedua kelompok ini dengan komunitas Ahmadiyah. Masalah ini penting, sebab dalam kenyataannya problema yang boleh dibilang absolut ini masih tetap ada dan tidak menunjukan tanda-tanda surut secara berarti.
Dalam situasi yang sarat dengan perbedaan penafsiran, upaya lebih perlu dilakukan agar gesekan dan ketegangan bisa dikurangi. Yang terpenting, adalah dalam konteks pemeliharaan ketertiban umum dan menjaga stabilitas masyarakat.
Pada konteks ini, perhatian utama bukanlah pada substansi materi yang menyebabkan konflik, akan tetapi adalah pada aturan dan kebijakan agar konflik keagamaan tidak terjadi atau bisa diminimalkan. Kehidupan beragama di Indonesia harus dikelola justru untuk menjamin keragamannya dan keharmonisannya.
Sehingga peran dan fungsi pemerintah daerah menjadi sangat penting. Pengetahuan tentang daerah, keakraban atau familiaritas terhadap karakteristik dan partikularitas daerah menjadi modal untuk dijadikan faktor yang melengkapi dan menutupi kekurangan undang-undang yang mengatur kehidupan beragama.
Bersama tokoh agama dan tokoh masyarakat serta pihak-pihak yang dianggap relevan, pemerintah daerah berperan penting dalam menjembatani kesenjangan tersebut.
Radikalisme agama berkembang di daerah, posisi pemerintah daerah sebenarnya menjadi lebih penting dibanding pemerintah nasional, baik dalam hal penanganan maupun perumusan undang-undang dan kebijakan. (adv/bp/*rol)