Anti-SLAPP Suit dalam Advokasi Lingkungan

Oleh: F.F Sanses, S.H.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan pertumpahan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah: 30)

Salah satu karya mahasiswa ISI Jogjakarta pada Pameran#ObarAbir. (Gusti - Hello Borneo)

Salah satu karya mahasiswa ISI Jogjakarta pada Pameran#ObarAbir. (Gusti – Hello Borneo)

Bengkulu, helloborneo.com – Meskipun negara-negara maju telah memasuki era pasca industri, namun tampaknya hal tersebut tidak dapat menunda atau setidak-tidaknya menahan libido negara berkembang untuk menjadikan industrialisasi sebagai alat utama penggerak pertumbuhan ekonomi.

Industri dapat dianalogikan seperti pedang bermata dua. Pertama, ia (industri) tidak dapat dipungkiri dapat menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang masal yang juga dapat memproduksi kebutuhan manusia dalam jumlah yang masal pula. Kedua, di sisi lain dunia industri dengan fulgar memvisualisasikan dirinya bak Dewi Themis, tertutup matanya untuk tanpa pilih-pilih kasih memperburuk kondisi lingkungan yang sudah buruk dengan kekuatan modal yang rakus dan tamak.

Ekspansi ketamakkan sang pemodal yang rakus itu diawali setelah Perang Dunia Kedua berlangsung tanpa kesadaran akan dampaknya terhadap lingkungan, dan bersama dengan itu meningkat pula pencemaran, yang ditandakan oleh asap Los Angeles; “matinya” Danau Erie; pencemaran sungai-sungai besar Meuse, Elba, dan Rhine; dan keracunan merkuri di Minamata.

Negara dunia ketiga yang keranjingan dengan industri tidak menjadikan ironi itu sebagai petanda kematian. Tak terkecuali Indonesia, negara yang telah diramal akan bangkrut karena bencana oleh seorang junum abad ke sebelas, Joyoboyo.

Untuk melawan ketamakan demi menahan laju kerusakan lingkungan dibutuhkan nyali besar, karena yang dihadapi tidak hanya berupa kekuatan modal dan perkakasnya, namun juga Pemerintah yang kian intim dalam perselingkuhannya dengan kapitalis serta tentunya dengan perselingkuhan-perselingkuhannya yang lain.

C. D Stone dari University of Southern California mengemukakan suatu teori berkenaan dengan hak objek-objek alam (natural objects), yang pada intinya mendalilkan bahwa lingkungan perlu memiliki wali (guardian).

Hak tersebut merupakan suatu pengakuan terhadap hak instrinsik lingkungan hidup. Seperti halnya negara dan anak di bawah umur, di mana penasihat hukum dapat mewakili ke duanya demi kepentingan hukum mereka. Sedangkan untuk lingkungan hidup, secara operasional manusialah yang ditunjuk sebagai wali dalam menjalankan hak tersebut.

Kedudukan manusia itu diwujudkan melalui organisasi lingkungan hidup atau NGO standing. Yang merupakan perwujudan partisipasi civil society dalam mencapai akses keadilan ekologis.

Pemberian legal standing tersebut juga diperkuat dengan Prinsip 10 dalam Deklarasi Rio yang kemudian dikenal dengan 3 (tiga) akses yakni, akses informasi, akses partisipasi dan akses keadilan.

Untuk menjamin rangkaian tindakan advokasi lingkungan tersebut dibutuhkan suatu regulasi yang memberikan jaminan untuk tidak dapat dituntutnya bagi setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat di muka Pengadilan.

Kebutuhan regulasi semacam itu merupakan suatu kebutuhan yang mendesak mengingat kegiatan advokasi kerap berhadap-hadapan dengan tindakan intimidasi, ancaman, bahkan kekerasan sering menimpa aktivis lingkungan yang belakangan kematian bukan lagi sebuah pilihan.

Tidak hanya menggunakan sarana-sarana melalui tindakan kekerasan yang dilarang dan diancam oleh negara. Para pemilik modal juga dapat menggunakan intrumen hukum yang legal untuk menjegal, menghentikan, memberikan rasa ancaman atau setidak-tidaknya mendatangkan rasa takut dalam melakukan advokasi.

Pembungkaman melalui sarana yang legal biasanya diwujudkan pada pelaporan aktivis lingkungan karena dianggap atau sengaja dibuat-buat telah melakukan tindakan pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan.
Tidak tanggung-tanggung aktivis lingkungan tersebut kerap dituntut secara pidana maupun perdata. Di sistem hukum Amerika tindakan pemodal semacam itu dikenal dengan SLAPP atau Strategic Lawsuit Againts Public Partisipation atau tindakan pembungkaman.

Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, pada Pasal 66 UU PPLH mengandung substansi norma yang sangat progresif yang berbunyi “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun secara perdata.”

Kemudian pasal tersebut disebut pasal anti-SLAPP Suit. Sehingga, diberikan suatu kepastian dan perlindungan bagi setiap orang yang melakukan advokasi lingkungan yang baik dan sehat tanpa dihantui dengan ancaman dari pemodal dengan menggunakan instrumen hukum pidana dan/atau perdata.

Laporkan Pejabat yang Berwenang yang Sengaja tidak Melakukan Pengawasan

Salah satu karya mahasiswa ISI Jogjakarta pada Pameran#ObarAbir. (Gusti - Hello Borneo)

Salah satu karya mahasiswa ISI Jogjakarta pada Pameran#ObarAbir. (Gusti – Hello Borneo)

Selain memberikan proteksi anti-SLAPP Suit, UU PPLH juga mengualifikasikan tindakan pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan dan atas ketidaktaatan itu mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang sebagai tindak pidana kejahatan.

Berdasarkan Pasal 112 UU PPLH tindakan tersebut diancam dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Tidakkah sejarah yang tak pernah dianulir adalah dapat dianggap sebagai suatu kebenaran. Dengan dan harus bagaimana kita memaknai kehancuran peradaban Mesopotamia yang terjadi karena adanya salinasi. Atau setidak-tidaknya jika kita beragama, masihkah kita menganulir peristiwa air bah pada zaman Nabi Nuh, berbagai kesulitan Nabi Musa ketika hijrah dari Mesir ke Kanaan sebagai gejala ekologis yang tak biasa.(rol)

*Penulis adalah fasilitator Workshop Mitigasi Bencana Mahupala Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.