Merayakan Hari Bumi Di tengah Pandemi Corona

Artikel oleh AR Pratama S.Hum, M.A (Dosen Sejarahwan dan Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas jember)


AR Pratama S.Hum, M.A (Dosen Sejarahwan dan Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas jember).

“Merefleksikan Kembali Hubungan Manusia dengan Bumi” 

helloborneo.comHari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April merupakan sebuah refleksi seremonial untuk kembali menanyakan keadaan bumi yang mengalami perubahan sangat cepat atas ekspolitasi yang dilakukan oleh manusia.

Manusia merupakan spesies baru yang ada di muka bumi, namun keberadaanya membawa perubahan keseimbangan di muka bumi. Hari Bumi sejatinya dijadikan sebuah peringatan, bahwa hingga saat ini manusia melakukan pola-pola konsumsi yang berlebihan.

Pada peringatan hari bumi tahun ini, umat manusia menghadapi sebuah “bencana” global, yaitu adanya pandemi corona, pandemi ini dengan sangat cepat menulari jutaan manusia, Jutaan manusia masih sakit dan puluhan ribu lainnya tewas. Beberapa kalangan menyebut bahwa bencana ini merupakan upaya bumi untuk kembali menyeimbangkan ekosistemnya yang tidak seimbang akibat perbuatan manusia.

Bagi bumi, mungkin manusia adalah “penyakit” yang harus diobati, dan mungkin pandemi ini merupakan mekanisme alam untuk mengingatkan manusia bahwa mereka merupakan bagian kecil dan sangat rapuh dari alam semesta.

Manusia dipaksa untuk diam, hanya beraktivitas seperlunya untuk mencegah penularan penyakit ini, sama seperti aktivitas yang dilakukan manusia sebelum adanya industrialisasi ekonomi, dimana manusia beraktivitas hanya untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasarnya.

Barangkali pandemi ini memaksa kita untuk merenung mengenai gaya hidup yang kita lakukan selama ini, apakah gaya hidup kita juga menjadi salah satu penyebab kerusakan bumi?

“Covid 19 Dan Membaiknya Lingkungan Hidup Kita

Pandemi corona membawa sebuah fenomena alam yang jarang dilihat apabila manusia melakukan aktivitasnya seperti biasa. Gunung-gunung mulai tampak di Kota-kota besar seperti Jakarta. Pemandangan gunung Salak terlihat dari ibukota Jakarta.

Pemandangan ini biasanya tidak terlihat pada situasi normal akibat tingkat polusi udara yang sangat tinggi. Di Nepal puncak Gunung Himalaya terlihat dari jarak 200 km, sebuah fenomena yang terakhir terekam pada tahun 1980an.

Terlihatnya gunung-gunung tersebut menandakan berkurangnya polusi udara karena masyarakat dihimbau untuk tidak berpergian dan tetap berada di dalam rumah.

Aliran kanal-kanal di Venesia kembali jernih, karena kota tersebut tidak lagi dilewati oleh ratusan perahu yang membuat air semakin keruh. Penutupan pabrik dan jaringan transportasi mengakibatkan jumlah emisi karbon di udara turun drastis.

Berdasarkan laporan dari BBC pada tanggal 7 April 2019, sejak adanya kebijakan lockdown yang diterapkan di New York tingkat polusi udara berkurang nyaris sebanyak 50%. Sementara itu di Cina, tingkat emisi berkurang sebanyak 25% di awal tahun.

Tutupnya Pabrik-pabrik dan pusat-pusat perbelanjaan mengakibatkan adanya penurunan penggunaan batu bara hingga 40% di enam pembangkit listrik terbesar Cina. Berkurangnya penggunaan batu bara berimplikasi kepada pengurangan jumlah polusi, sehingga udara di Cina dinyatakan semakin sehat.

“Kapitalisme VS Lingkungan Hidup

Lingkungan Hidup sejatinya memiliki kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri. Namun pemulihan ini berlangsung semakin lama akibat ketidakseimbangan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh manusia. Seperti fenomena kebakaran hutan yang akhirnya menjadi bencana tahunan di Indonesia.

Kebakaran hutan merupakan bencana alam yang terjadi natural, namun sejak adanya gempuran modal, ekosistem hutan menjadi berubah, sehingga kebakaran hutan semakin sering muncul. Pemanasan iklim global juga berdampak kepada perubahan ekosistem yang terjadi di belahan bumi utara.

Orang-orang inuit atau disebut eskimo mengalami fenomena yang tidak pernah mereka temukan di abad-abad sebelumnya. Pemanasan global menyebabkan ekosistem kutub utara menghangat, dan menyebabkan terjadinya kebakaran hutan.

Orang-orang eskimo sangat bingung karena mereka tidak memiliki kosa kata untuk menyebutkan bencana kebakaran hutan. Bencana kebakaran hutan massif yang terjadi pada tahun 1997-1998 bukan bencana yang bersifat natural, namun diperparah akibat ulah manusia yang melakukan penebangan hutan besar-besaran.

Sejak konsensi HPH diberikan oleh rezim Orde Baru pada tahun 1970-an, hutan di Kalimantan Timur banyak ditebang. Lahan-lahan tersebut tidak dihijaukan kembali, namun beralih fungsi menjadi areal permukiman serta lahan pertanian dan perkebunan yang dikelola oleh ribuan transmigran yang didatangkan pemerintah dari Jawa dan Bali.

Penebangan hutan secara masif membuat mikro iklim di sekitar hutan berubah. Hilangnya kanopi hutan membuat paparan sinar matahari langsung menghujam lantai hutan. Akibatnya, kelembaban di dalam hutan berkurang. Peningkatan suhu udara dalam hutan akan meningkatkan potensi kebakaran.

Menurut CGGJ van Steenis, manusia adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kejadian kebakaran hutan. Manusia ditengarai sebagai penyebab penimbunan bahan untuk dibakar. Mereka menebang banyak pohon untuk diambil kayunya, atau mengonversi lahan hutan menjadi areal pertanian.

Akibatnya, banyak sisa bekas penebangan berupa dedaunan dan ranting yang mengering serta diperparah dengan adanya invasi rumput liar yang mengakibatkan penumpukan bahan pembakar. (Steenis 2007: 41 – 42)

Menurut Lorenzo Fioramonti, dalam bukunya yang berjudul Problem Domestik Bruto (PDB): Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi, ia menyebutkan bahwa Kapitalisme yang menyandarkan indikator PDB sebagai acuan keberhasilan ekonomi memiliki banyak kelemahan.

Salah satu kelemahan paling fatal ialah PDB tidak mengikutsertakan konservasi ekologi sebagai salah satu sumber meningkatnya nilai ekonomi. Air yang bersih, udara yang tidak tercemar, lingkungan yang sehat, tidak dihitung dalam komponen PDB, padahal elemen ekologi ini yang cukup memainkan peranan penting bagi kesejahteraan manusia. PDB juga dianggap gagal dalam memasukkan nilai kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan ekologi.

Adanya bencana kebakaran hutan yang membuat masyarakat menderita hingga menyebabkan kematian tidak dianggap sebagai kerugian dalam penghitungan PDB. Tentu saja penggunaan PDB juga meminggirkan kepentingan masyarakat tradisional atau adat yang menyandarkan kebutuhan hidup mereka dari kelestarian ekosistem.

Seperti orang-orang Samin yang menolak adanya pembangunan pabrik semen karena itu akan menghancurkan mata air yang mereka miliki. Keberadaan mata air sangat penting karena mereka menyandarkan kehidupan dari bertani.

Mata air memberikan kehidupan bagi mereka, namun komponen ini luput dari penghitungan PDB. Pemerintah cenderung lebih memilih membangun pabrik semen guna meningkatkan ekspor komoditas semen yang menambah devisa negara. Pemerintah luput untuk menghitung bertambahnya jumlah kemiskinan apabila ekosistem lingkungan rusak.

PDB juga memiliki orientasi pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek, dengan memaksimalkan eksploitasi Sumber Daya Alam untuk peningkatan devisa. (bp/hb). bersambung…




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.