Laporan Khusus Tim LBH Samarinda
Balikpapan, helloborneo.com – Sejak dimulainya proses persidangan terhadap 7 orang Tahanan Politik asal Papua di Pengadilan Negeri Balikpapan 11 februari 2020 lalu, perhatian masyarakat baik di level nasional maupun internasional tertuju pada satu wilayah yaitu Balikpapan. Kasus yang menjerat Buchtra Tabuni serta 6 orang lainnya ini hampir selalu menghiasi pemberitaan di media cetak dan elektronik baik nasional maupun internasional.
Pemberitaan kian marak dan mencapai puncaknya ketika Jaksa Penuntut Umum memberikan tuntutan 17 tahun penjara terhadap Buchtar Tabuni, 15 tahun terhadap Agus Kossay dan Stevanus Itlay, 10 tahun terhadap Alexsander Gobai dan Fery Kombo, serta 5 tahun terhadap Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok. Pasca pembacaan tuntutan oleh JPU Kejaksaan Tinggi Papua tersebut, perbincangan publik atas kasus ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Ada banyak pihak yang menyelenggarakan diskusi secara online membahas tuntutan tersebut beserta dampak domino dari putusan apabila mejelis hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tuntutan JPU tersebut.
Menurut catatan kami, diskusi yang pertama kali dan kemudian menjadi kontroversi adalah diskusi yang dilakukan oleh BEM Fakultas Hukum UI dimana dalam diskusi tersebut mengahdirkan Veronika Koman dalam diskusi tersebut dan selang waktu beberapa hari kudian Rektor UI sempat mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa diskusi tersebut merupakan diskusi illegal yang kemudian surat rektor tersebut mendapatkan perlawanan dari beberapa dosen UI sendiri. Selain diskusi oleh BEM FH UI tersebut, ada pula diskusi yang diselenggarakan oleh LBH Jakarta, Amnesty Internasional Indonesia, ELSHAM, hingga beberapa pihak lain bahkan hingga talkshow di media televisi, bahkan ada pula aksi solidaritas berupa demonstrasi maupun bentuk lainnya yang diselenggarakan oleh beberapa kelompok di seluruh Indonesia.
Seiring dengan maraknya diskusi mengenai tuntutan terhadap 7 TAPOL asal Papua tersebut, maka intimidasi semakin dirasakan oleh beberapa pihak. Intimidasi tersebut berupa serangan secara fisik maupun non fisik yang berupa terror dan/atau gangguan-ganggguan dalam bentuk lainnya. Menurut catatan kami, ada beberapa kasusu intimidasi yang dialami oleh berbagai pihak selama masa menjelang pembacaan pledoi hingga menjelang putusan.
Intimidasi terhadap tim Penasihat Hukum
Pada saat proses penyusunan pledoi oleh tim Penasihat Hukum 7 TAPOL atas tuntutan JPU tersebut di atas, tim Penasihat Hukum mendapatkan intimidasi berupa Tindakan kekerasan oleh orang tak dikenal pada 8 Juni 2020 di Kota Jayapura. Salah satu tim PH yang mendapat serangan tersebut menerangkan bahwa yang bersangkutan saat itu sedang dalam perjalanan ke kantor tim PH lain di Jayapura guna berkumpul untuk Bersama-sama melakukan penyusunan pledoi. Namun dalam perjalanan tiba-tiba yang bersangkutan dipukul bagian belakang kepalanya dan sempat berkejar-kejaran namun pelaku berhasil meloloskan diri. Kasus ini kini ditangani oleh pihak Polda Papua.
Intimidasi terhadap Jurnalis
Tak hanya terhadap Pensihat Hukum, intimidasi juga terjadi terhadap beberapa rekan jurnalis yang meliput secara langsung terakit kasus yang dijeratkan kepada 7TAPOL tersebut. Ada beberapa jurnalis yang mengeluhkan kegelisahannya berkaitan dengan aktivitas liputan mereka, diantaranya adalah dengan secara langsung didatangi oleh oknum yang dikenal oleh jurnalis tersebut (nama Jurnalis serta media dirahasiakan berdasarkan permintaan yang bersangkutan) merupakan personil kepolisian dengan cara menanyakan nama, media/kantor tempat jurnalis tersebut bekerja, serta alamat rumahnya. Selain itu ada pula jurnalis lainnya yang menceritakan bahwa berita yang ia tulis tidak mendapatkan jaminan untuk naik cetak, padahal yang bersangkutan telah menulis beberapa berita dalam sudut pandang yang berbeda, dan cilakanya jurnalis dari salah satu media cetak ternama di Indonesia yang juga tidak bersedia namanya ditulis ini ditugaskan khusus untuk meliput kasus 7 TAPOL tersebut
Intimidasi terhadap mahasiswa asal Papua di Samarinda
Intimidasi juga terjadi terhadap Mahasiswa asal Papua di Samarinda, cara intimidasi yang dilakukan adalah dengan cara memaksa mahasiswa ini menyatakan kalimat yang salah satunya adalah “Saya Papua, Saya cinta Indonesia” sambil direkam, dan kemudian diunggah ke media sosial. Hal itu jelas merupakan sebah pemaksaan yang tidak layak dan dapat mengakibatkan traumatik terhadap mahasiwa asal Papua yang berada di Samarinda.
Intimidasi terhadap Keluarga
Intimidasi nyatanya juga dialami oleh pihak keluarga dari 7 TAPOL. Isrti dari Buchtar Tabuni dan Agus Kossay dengan setia menemani dengan memilih tinggal di Balikpapan. Pada saat proses pembacaan pledoi, keduanya mengaku didatangi oleh oknum dari polda Papua guna menawarkan bantuan keuangan masing-masing Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) yang langsung ditolak oleh keduanya. Akan tetapi hampir setiap hari keduanya selalu dihubungi oleh oknum tersebut untuk keperluan yang sama, bahkan salah satu PH di Balikpapan juga dihubungi untuk keperluan tertentu. Hal ini dinilai sangat mengganggu bagi istri dari Buchtar dan Agus. Bahkan keduanya sampai harus memblokir nomor HP oknum tersebut agar tak dihubungi Kembali berkaitan dengan bantuan tersebut. Cilakanya, Kapolda Papua dalam sebuah acara di Jayapura mengklaim bahwa bantuan yang mereka berikan telah diterima oleh pihak keluarga yang ada di Balikpapan. Menurut kami, klaim tersebut merupakan suatu kebohongan yang disampaikan kepada publik, dan menciderai nama baik dari Buchtar Tabuni dan Agus Kossay.
Dari tempat intimidasi yang dilakukan secara langsung oleh oknum Kepolisian ataupun di orang tidak dikenal di atas menunjukkan bahwa dalam konteks ini negara melalui aparatnya yaitu Kepolisian telah gagal dalam memberikan rasa aman kepada warga negara. Semestinya, dalam suasana yang tegang tersebut, Polri memastikan pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan kasus tersebut merasa aman dan nyaman dalam beraktivitas serta tidak ada rasa khawatir dalam melaksanakan aktivitasnya.
Kami juga menilai bahwa dengan sangat intensnya intimidasi yang dilakukan saat itu, menunjukkan kepada dunia atas matinya demokrasi di Indonesia. Kebebasan berekspresi dibungkam, kebebasan pers dibelenggu, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dalam penanganan kasus-kasus tertentu dalam hal ini kasus pelanggaran HAM di Papua memaksakan kehendaknya atas keseragaman (dalam hal ini keseragaman berfikir dengan pola fikir pemerintah) dimana hal tersebut sangat bertentangan dengan demokrasi yang sangat menghargai keberagaman. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak bahwa pemerintah Indonesia akan melakukan hal yang sama tidak hanya terhadap kasus Papua, tetapi juga atas kasus-kasus lain di seluruh Indonesia yang dinilai sensitif dan mengganggu kepentingan pragmatis segelintir penguasa di republik ini.
Perjuangan untuk menegakkan HAM dalam prinsip demokrasi berdasarkan konstitusi di Indonesia masih akan selalu berhadapan dengan situasi sebagaimana gambaran di atas. Akan tetapi hambatan-hambatan tersebut harus dihadapi dan harapannya hal tersebut tentunya tidak menjadikan semangat serta langkah dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis yang menjunjung tinggi HAM di Indonesia tidak pernah terhenti. Karena tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik tanpa adanya sebuah pengorbanan dari setiap warga negara yang peduli terhadap negaranya. (rilis/tan)