Era New Normal, Grafik Pengajuan Perceraian Pengadilan Agama Samarinda Meningkat Tajam

Poto Istimewa.

Samarinda, helloborneo.com – Periode Januari hingga akhir Agustus tahun ini, Kantor Pengadilan Agama Klas I Samarinda mencatatat sebanyak 1.415 pengajuan cerai yang masuk. Dari jumlah tersebut, 1.054 perkara cerai dikabulkan pengadilan.

Secara rinci perkara terdiri dari 361 talak yang diajukan suami dan 885 gugat yang diajukan oleh istri. Sebanyak 25 perkara ditolak, 56 tidak diterima, dan 107 perkara dicabut. Rata-rata pengadilan menerima 177 perkara per bulan pada tahun ini.

Rusinah, seorang hakim di Kantor Pengadilan Agama Klas 1 Samarinda mengatakan kasus perceraian tahun ini diyakini lebih tinggi jika pengadilan agama tidak membatasi pengajuan perceraian.

“Selama pandemi Covid-19, pengadilan maksimal hanya menerima 15 pengajuan cerai setiap hari. Kalau tidak dibatasi, sehari bisa sampai 40 gugatan. Terlebih pada sidang pembuktian. Kalau sehari ada 40 penggugat, belum ditambah saksi dari penggugat dan tergugat, jumlah peserta sidang bisa sampai 100 orang. Pembatasan ini untuk mengurangi orang berkumpul di dalam kantor,” terang Rusinah, Kamis(10/9/ 2020).

Selama awal masa pandemi, Kantor Pengadilan Agama Klas 1 Samarinda Jalan Ir Juanda, Samarinda Ulu, sebenarnya menerapkan bekerja dari rumah. Hanya beberapa petugas yang melayani dan bertugas menjalani sidang yang datang. Hal tersebut untuk mengurangi hubungan dengan sesama. Pengadilan juga mempersilakan penggugat mendaftar secara daring. Pembayaran pun bisa nontunai.

“Setelah memasuki new normal atau adaptasi kebiasaan baru, orang-orang bisa langsung mendafar. Jumlah perkara pun melonjak. Kami menyarankan mendaftar secara online dan dibatasi 15 perkara per hari,” jelas Rusinah.

Dilihat dari data pengajuan perceraian, Rusinah membenarkan bahwa gugat cerai yang dilayangkan pihak istri adalah yang terbanyak. Mayoritas perempuan yang mengajukan gugatan disebut berusia antara 20 tahun hingga 40 tahun.

Sementara masalah keretakan rumah tangga yang paling sering ditemui adalah pertengkaran karena faktor ekonomi.

“Saya memeriksa perkara sebagai ketua majelis hakim dalam banyak kasus, istri mengeluhkan suami yang tidak memiliki pekerjaan tetap bahkan sama sekali tidak bekerja. Suami hanya tinggal di rumah ketika diminta mencari pekerjaan. Kondisi itu menimbulkan cekcok terus-menerus sehingga berakhir di meja hijau. Jadi istri yang akhirnya meninggalkan. Menurut saya, sebenarnya tidak terlalu disebabkan pandemi ini. Memang ada, tapi tidak seberapa,” jelasnya. (/sop/hb)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.