Perubahan Iklim Pengaruhi Produksi Kopi di Toraja, Sulawesi Selatan

Seorang pekerja memetik biji kopi robusta di perkebunan dekat Banyuwangi, Jawa Timur, 10 Agustus 2016, sebagai ilustrasi. (Foto: Antara/Budi Candra Setya via REUTERS)
Seorang pekerja memetik biji kopi robusta di perkebunan dekat Banyuwangi, Jawa Timur, 10 Agustus 2016, sebagai ilustrasi. (Foto: Antara/Budi Candra Setya via REUTERS)

Palu, helloborneo.com – Petani, sekaligus pengolah kopi di Tana Toraja, Riniaty Likubulawan, mengungkapkan curah hujan yang tinggi dalam durasi yang lama menyebabkan kelembaban udara tinggi yang akan meningkatkan hama tanaman. Hujan merusak dan menggugurkan bunga, sedangkan hujan pasca panen menghambat proses penjemuran menjadi lebih lama.

Pada sisi yang lain, kemarau panjang menyebabkan kekeringan yang dapat menghambat perkembangan buah.

“Bagaimana krisis iklim ini berpengaruh, sudah dirasakan pada saat ini. Ada kemarau, ada musim hujan yang saat ini kita sudah tidak bisa menebak kapan akan kemarau, kapan akan hujan. Tiba-tiba saja ada hujan, lalu itu tidak bisa kita prediksi apakah dalam dua hari, tiga hari akan berhenti hujan yang banyak itu,” kata Riniaty dalam diskusi Publik bertema Krisis Iklim, Kopi dan Perempuan.

Riniaty mengatakan faktor cuaca yang tidak menentu itu telah membuat produksi biji kopi di tingkat petani semakin menurun, sehingga harga semakin tinggi. Harga biji kopi mentah di tingkat petani terus meningkat sejak tahun 2019 dari Rp19 ribu per liter menjadi Rp37 ribu per liter.

Penurunan produksi kopi ikut berdampak pada perempuan yang memegang peran penting dalam rantai produksi kopi. Kegiatan perempuan dalam rantai produksi kopi sejak penanaman, pemangkasan, pemupukan, panen, pencucian, penjemuran, penyortiran dan penjualan.

“Petani perempuan juga pengelola keuangan rumah tangga sehingga penurunan produktivitas akan berdampak pada penurunan pendapatan sehingga menyulitkan perempuan,” jelasnya.

Selain itu, perempuan menjadi bekerja lebih keras di kebun untuk mitigasi perubahan iklim dengan meningkatkan perawatan kebun, menciptakan sumber-sumber pangan dan ekonomi keluarga dengan melakukan diversifikasi usaha pertanian, sehingga dampaknya pekerjaan perempuan akan bertambah.

Penurunan Produksi Kopi Berdampak pada Buruh Perempuan

Emmy Astuti dari Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) Jakarta mengungkapkan perubahan iklim menjadi tantangan dalam perkebunan kopi karena komoditas itu adalah tanaman yang sangat bergantung pada suhu dan pola curah hujan. Penurunan produksi tanaman kopi akibat perubahan iklim dapat menyebabkan hilangnya sumber penghasilan buruh perempuan yang bekerja dalam industri kopi dengan upah yang rendah.

“Ada buruh tani borongan, ada buruh tani harian. Kalau buruh tani borongan itu berkelompok, misalnya 10 orang, mengerjakan satu hektare kebun kopi, dia bisa dapat satu juta. Dia bagi lagi hasilnya. Jadi, kecil?” kata Emmy Astuti.

Berdasarkan data tahun 2020 International Coffee Organization (ICO), 20 hingga 30 persen kebun kopi di Indonesia dikelola perempuan. Dan lebih dari 70 persen buruh dalam industri kopi adalah perempuan.

Indonesia berdasarkan data International Coffee Organization (ICO) Tahun 2020, merupakan produsen kopi tertinggi keempat di dunia setelah Brazil, Kolombia dan Vietnam.

Produksi kopi sebagian besar diekspor dengan volume ekspor tahun 2021 sebesar 382,93 ribu ton dan memberikan kontribusi devisa Rp12,35 triliun atau penghasil devisa sektor perkebunan terbesar kelima setelah kelapa sawit, karet, kakao dan kelapa.

Kesesuaian Lahan Kopi Arabika Berkurang

Peneliti Piarea Institute, Raden Eliasar Prabowo, mengungkapkan kenaikan suhu udara dan perubahan pola curah hujan dapat menyebabkan produktivitas tanaman kopi menurun. Kenaikan suhu udara mempercepat pematangan buah kopi, sedangkan perubahan pola hujan mengganggu perkembangan biji kopi.

Menurutnya hingga tahun 2100 perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global dapat membuat kesesuaian lahan untuk tanaman kopi arabika di Indonesia berpotensi semakin menurun hingga 100 persen, sedangkan untuk kesesuaian lahan untuk tanaman kopi robusta semakin bertambah.

“Karena robusta lebih tahan ya dengan suhu udara yang lebih tinggi, makanya tadi wilayah-wilayah yang sebelumnya bisa ditanam oleh arabika, itu bisa berganti menjadi ditanami oleh robusta,” kata Prabowo saat memaparkan hasil penelitian terbaru bertajuk Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian: Fokus Komoditas Padi dan Kopi (Arabika dan Robusta).

Kabupaten dan Kota penghasil kopi Arabika yang terdampak adalah Sungai Penuh, Jambi, Purbalingga, Tegal, Karangasem dan Bulukumba. Sedangkan daerah penghasil kopi robusta, seperti Nias Barat, Kebumen, Pamekasan, Jembrana dan Kota Palopo, mengalami penurunan produksi hingga 58 persen meskipun kesesuaian lahan untuk penanaman kopi robusta bertambah.

Raden Eliasar Prabowo berharap para penikmat kopi di Tanah Air dapat berpartisipasi dalam upaya mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi pribadi di antaranya dengan tidak menggunakan gelas plastik sekali pakai, demi secangkir kopi pada masa depan.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V DPR RI pada Maret 2022 mengingatkan, tanpa upaya mitigasi perubahan iklim, diproyeksikan pada tahun 2100 akan terjadi lonjakan kenaikan suhu hingga 4 derajat di seluruh pulau besar di Indonesia. Dampak perubahan iklim setidaknya dapat dilihat pada menyusutnya es di Puncak Jaya Wijaya, Papua, dari luasan 200 kilometer persegi menjadi dua kilometer persegi. Diperkirakan es di Puncak Jaya akan punah pada 2025. (voa/log)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.