YLBHI Nilai Perppu Cipta Kerja Bentuk Pembangkangan Konstitusi

Seorang anggota serikat buruh mengenakan ikat kepala bertuliskan "batalkan UU Cipta Kerja" dalam demo memprotes perubahan aturan ketenagakerjaan saat Mahkamah Konstitusi membacakan putusan uji materi UU Cipta Kerja, di Jakarta, Senin, 25 November 2021.
Seorang anggota serikat buruh mengenakan ikat kepala bertuliskan “batalkan UU Cipta Kerja” dalam demo memprotes perubahan aturan ketenagakerjaan saat Mahkamah Konstitusi membacakan putusan uji materi UU Cipta Kerja, di Jakarta, Senin, 25 November 2021.

Jakarta, helloborneo.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang pada Jumat (30/12) sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan gejala otoritarianisme pemerintah.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur berpendapatan aturan tersebut menunjukkan Presiden Joko Widodo tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang menuai kontroversi tersebut dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) seperti yang diperintahkan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis,” jelas Isnur.

Pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada Jumat (30/12). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato mengatakan penerbitan regulasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.

Hal itu dilakukan menyusul putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatakan UU itu inkonstitusional bersyarat dan bertentangan dengan UUD 1945. Dalam amar putusannya, MK juga memerintahkan pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU tersebut paling lama dua tahun sejak putusan MK. Jika gagal, maka UU tersebut menjadi inskontitusional.

Lebih lanjut Isnur menilai Perppu ini tidak memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk menerbitkan aturan serupa, yakni kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa. Menurutnya, Perppu Cipta Kerja semestinya diterbitkan setelah disahkan karena mendapat penolakan yang masif dari masyarakat, bukan setelah putusan MK.

“Perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan Perppu,” katanya.

Isnur juga menyebut dampak perang Ukraina-Rusia, ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan pemerintah yang tidak masuk akal dalam penerbitan Perppu ini.

Perppu Beri Kepastian Hukum

Airlangga mengatakan penerbitan Perpu ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, termasuk bagi pelaku usaha. Apalagi putusan MK ternyata sangat memengaruhi investasi, baik di dalam maupun di luar negeri. Padahal, pemerintah sendiri sedang giat dalam mengundang investor.

“Tahun depan karena kita sudah mengatur budget defisit kurang dari tiga persen dan ini mengandalkan kepada investasi. Jadi tahun depan investasi kita diminta ditargetkan Rp1.200 triliun. Oleh karena itu, ini menjadi penting, kepastian hukum untuk diadakan. Sehingga tentunya dengan keluarnya Perpu Nomor 2 Tahun 2022 ini diharapkan kepastian hukum bisa terisi dan ini menjadi implementasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Airlangga.

Terkait penerbitan Perppu tersebut, Airlangga menyebut Presiden Jokowi telah berbicara dengan Ketua DPR RI Puan Maharani terkait dengan penerbitan Perppu ini.

Partai Buruh Belum Tentukan Sikap

Sementara itu Ketua Partai Buruh Said Iqbal mengatakan pihaknya belum mengetahui isi dari Perppu Cipta Kerja tersebut. Karena itu, Partai Buruh dan serikat-serikat buruh belum menentukan sikap terkait aturan baru ini.

“Bagaimana sikap selanjutnya, kami pelajari dulu isi Perppu. Apakah akan ada aksi, penolakan, kita akan lihat isi Perppu,” jelas Said Iqbal dalam konferensi pers secara daring, Jumat (30/12)

Kendati demikian, Said Iqbal menuturkan dari awal Partai Buruh mengusulkan kepada pemerintah agar menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Menurutnya, opsi ini lebih baik ketimbang UU Cipta Kerja dibahas bersama DPR kembali setelah MK memutuskan pembentukan UU ini inkonstitusional bersyarat. Alasannya, pembahasan UU Cipta Kerja pada tahun politik akan rentan dipolitisasi dan terjadi penyelewengan uang.

“Ini tahun politik, akan terjadi politisasi terhadap pembahasan ulang. Padahal isi revisi UU Cipta Kerja sama, nanti akan berlarut-larut dalam pembahasan awal,” tambahnya.

Iqbal juga menuturkan bahwa pihaknya telah berdialog dengan Kamar Dagang Indonesia (KADIN) terkait perbaikan UU Cipta Kerja, khususnya di klaster ketenagakerjaan. Dialog tersebut menghasilkan sejumlah kesepemahaman yang kemudian diberikan kepada Presiden Joko Widodo, antara lain soal upah minimum (UMP) yang kembali kepada UU Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan, upah sektoral di tingkat nasional, dan aturan outsourcing kembali ke UU Ketenagakerjaan.

Selain itu, Iqbal menyebut buruh juga mengusulkan sejumlah perbaikan tentang pekerja kontrak, pesangon, dan PHK yang semangatnya kembali ke UU Ketenagakerjaan.

“Begitu pula jam kerja, lembur, sanksi, kemudian hak upah buruh perempuan pada saat cuti haid dan melahirkan harus dibayarkan. Itu semua kembali ke UU Ketenagakerjaan,” tambahnya.

Iqbal juga berharap Perppu Cipta Kerja ini dapat mengakomodasi perbaikan tentang reformasi agraria, persoalan lingkungan hidup, dan hak asasi manusia. (voa/log)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.