Surabaya, helloborneo.com – Ancaman bencana ekologi akibat perubahan iklim sudah terlihat nyata di berbagai daerah di Indonesia, mulai dari banjir, tanah longsor, hingga angin puting beliung. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengingatkan agar pemerintah bijak dalam menetapkan rencana tata ruang dan wilayah, agar tidak menimbulkan bencana ekologis yang lebih serius.
WALHI Jawa Timur menyoroti masifnya upaya alih fungsi hutan dan lahan untuk pertambangan, khususnya di kawasan pesisir selatan Jawa yang rawan terhadap berbagai bencana ekologis. Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, meminta pemerintah tidak memaksakan pemberian konsesi lahan untuk pertambangan, di lokasi yang termasuk zona merah atau rawan bencana.
“Pemberian konsesi tersebut tidak melihat bahwa pesisir selatan ini rawan bencana, dan yang ditambang ini rata-rata berada di wilayah hulu, wilayah hulu tempat mata air, tempat masyarakat menggantungkan hidupnya, tempat menjaga jangan terjadi longsor, dan tempat gunung-gunung itu sebagai salah satu benteng alami. Dan ketika ditambang, apalagi model pertambangan yang membabat di wilayah atas, namanya ekstraktif kan itu mengekstrak tanah, nah tentu itu akan meningkatkan kerentanan,” jelas Wahyu Eka Setyawan.
WALHI Jawa Timur menyebut ada sedikitnya tujuh wilayah yang termasuk dalam kawasan krisis, antara lain timur Jawa, pesisir selatan, Malang Raya, Mataraman, pantai utara, hingga Madura kepulauan. Catatan tahunan kolaborasi WALHI Jawa Timur juga menyebut, kerusakan lingkungan dan bencana, yang terjadi selama tahun 2022, banyak disebabkan oleh alih fungsi lahan yang diatur dalam rencana tata ruang wilayah. Wahyu mengatakan, faktor ekonomi sering dijadikan dalih perubahan fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan produksi.
“Karena masyarakat beralih ke sana (hulu) juga ada kesempatan, ada yang membuka. Dan mengapa mereka ke sana, ya karena wilayah tengahnya, ruang-ruang yang seharusnya menjadi lahan pertanian dan pangan berkelanjutan, dialih fungsikan untuk resort (penginapan), untuk wisata buatan dan lain-lain. Akhirnya apa? Mereka terancam dan terusir. Nah, mereka untuk bertahan hidup ya buka lahan. Karena kerusakan lingkungan ini juga sangat berkaitan dengan konteks ekonomi, rusaknya di wilayah bawah ini akan memicu kerusakan di wilayah atas juga. Karena apa? di wilayah bawah mereka jual tanah, di wilayah atas mereka beli tanah, dan itu membabat hutan dan ini yang seringkali terjadi di situ,” lanjutnya.
Selain kehilangan ruang hidup akibat bencana, persoalan alih fungsi dan tata guna lahan juga mengancam kebebasan masyarakat yang sering berhadapan dengan hukum. Kepala Divisi Riset, Pengembangan dan Kerja Sama, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Mohammad Sholeh, menyebut masyarakat sering menjadi korban aturan hukum karena terlibat dalam konflik sumber daya alam.
Selama tahun 2022, terdapat 20 aduan yang masuk ke LBH Surabaya, dari masyarakat yang bermasalah dengan hukum terkait sumber daya alam. Instrumen hukum yang paling sering digunakan untuk merepresi warga, kata Sholeh, yakni UU KUHP, UU Perkebunan, UU Minerba, hingga UU Cipta Kerja.
“Sangat sering terjadi kemudian, hukum, instrumen hukum itu dijadikan alat untuk membuat gerakan warga itu tertekan, kemudian warga takut dan lain sebagainya. Itu juga seringkali dilakukan, dan terjadi di tahun 2022,” jelas Mohammad Sholeh. (voa/log)