Penajam, helloborneo.com – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) mengajak semua pihak, terutama orang tua untuk memberikan edukasi kesehatan reproduksi kepada anak sebagai bagian dari pemenuhan hak anak, terutama anak perempuan.
Isu kesehatan anak tentunya terkait dengan isu kesehatan reproduksi, di mana banyak masalah yang akan timbul apabila diabaikan. Masalah-masalah yang timbul akibat kurangnya pengetahuan terhadap kesehatan reproduksi, yaitu Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD), aborsi, perkawinan anak, IMS (Infeksi Menular Seksual) atau PMS (Penyakit Menular Seksual), dan HIV/AIDS.
Hak kesehatan reproduksi menjadi penting, terkait dengan pengembangan fisik, kepribadian, ketahanan diri anak untuk bisa menghindari penyakit yang bisa ditimbulkan, seperti penyakit menular seksual dan bisa mencegah bahaya infertilitas. Oleh sebab itu, orang tua, baik ayah maupun ibu harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang kesehatan reproduksi sehingga mampu mendampingi perkembangan anak.
Hingga saat ini masih banyak anak perempuan Indonesia yang kehilangan waktu belajar akibat menstruasi. Survei UNICEF Indonesia pada 2018 menunjukkan 1 dari 6 siswa perempuan tidak masuk sekolah saat menstruasi.
Alasan mereka tidak datang ke sekolah saat menstruasi, antara lain karena merasa tertekan, cemas, dan malu bila orang lain mengetahui mereka sedang menstruasi. Mereka juga takut diolok-olok atau diejek karena menstruasi.
Selain itu, tidak adanya sarana toilet sekolah yang tidak nyaman, tidak menyediakan air bersih dan tempat sampah untuk membuang pembalut bekas menjadi alasan lain siswa perempuan enggan bersekolah saat menstruasi. Hal ini berarti anak perempuan kehilangan kesempatan mendapatkan haknya atas pendidikan.
Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan kurangnya pemahaman yang benar tentang menstruasi. Rasa tertekan, cemas, dan malu menunjukkan bahwa menstruasi masih dianggap sebagai hal yang tabu dan harus disembunyikan.
Olokan dan ejekan, saat siswa perempuan mengalami kondisi darah menstruasi tembus di rok seragam, menunjukkan masih adanya stigma tentang menstruasi. Menstruasi dianggap sebagai sesuatu yang kotor, dan perempuan yang sedang menstruasi harus dihindari.
Padahal menstruasi adalah kondisi yang normal dan alamiah pada perempuan sebagai bagian dari proses reproduksi. Pemahaman seperti ini harus dimiliki bukan hanya oleh anak perempuan sendiri, melainkan juga oleh ibu, ayah, guru perempuan dan laki-laki, dan anak laki-laki.
Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai persoalan di atas, harus dilakukan edukasi kesehatan mengenai cara perawatan organ reproduksi, perkembangan remaja saat pubertas, dampak pornografi, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dan aborsi, HIV/AIDS, infeksi menular seksual, dan pendewasaan usia perkawinan dengan melibatkan peran pemerintah, orang tua, satuan pendidikan, dunia usaha, media, dan juga peer group. (adv/log)