Oleh: F.F Sanses, S.H.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena tangan manusia, hal ini ditampakkan Allah agar dirasakan akibatnya dari sebagian perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum ayat 41)

Lokasi Tambang. Lubang bekas tambang batu bara maut di RT 04 Kelurahan Buluminung, Kab. PPU, Kaltim. (Ist – Jatam)
Bengkulu, helloborneo.com – UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup membuka ruang dan instrumen hukum seluas-luasnya bagi pihak yang ingin menegakkan hukum lingkungan.
Berdasarkan UU PPLH, penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa alternatif penyelesaian. Baik penggunaan alternatif penyelesaian melalui Pengadilan (in court atau litigasi) maupun penyelesaian di luar pengadilan (out court/settlement).
Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan melalui segi hukum perdata, hukum administrasi maupun hukum pidana sehingga itulah musababnya hukum lingkungan kerap disebut hukum fungsional.
Segi Hukum Perdata

PH Air lubang bekas tambang RT 04 Kelurahan Buluminung, Kab PPU, Kaltim tak layak. (Ist – Jatam)
Penyelesaian sengketa melalui segi hukum perdata menurut UU PPLH diatur pada BAB XIII Pasal 84 hingga Pasal 92. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup berdasarkan segi hukum perdata dapat dilaksanakan baik melalui Pengadilan ataupun di luar Pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai suatu kesepakatan.
Kesepakatan tersebut dapat berupa: bentuk dan besarnya ganti rugi, tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan, tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan, dan/atau tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Para pihak dimungkinkan untuk menggunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu proses penyelesaian sengketa di luar Pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan tidak berlaku terhadap pelanggaran ketentuan pidana.
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan dilakukan dengan menggunakan hak gugat. Pihak yang memiliki hak gugat meliputi Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Masyarakat serta organisasi lingkungan hidup.
Gugatan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilayangkan terhadap pihak meliputi orang dan/atau badan usaha yang merupakan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan. Gugatan tersebut dapat berisi permohonan ganti kerugian maupun pemulihan lingkungan.
Atas dasar dan demi kelangsungan kelestarian lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup diberikan legal standing untuk mengajukan gugatan sengketa lingkungan hidup. Namun, organisasi lingkungan hidup tersebut harus memenuhi kriterium tertentu di antaranya berbadan hukum.
Segi Hukum Administrasi

Kerusakan bekas lubang tambang memperparah wajah bumi. (Gusti – Hello Borneo)
Gugatan administrasi dapat dilakukan oleh setiap orang terhadap keputusan tata usaha negara. Sehingga hukum acara yang digunakan terhadap gugatan tersebut mengacu pada hukum acara peradilan tata usaha negara.
Berdasarkan UU PPLH, dasar pengajuan gugatan tersebut terbatas pada penerbitan izin lingkungan tanpa dilengkapi dokumen amdal, tidak lengkapnya dokumen UKL-UPL terhadap izin lingkungan yang membutuhkan UKL-PPL atau atas penerbitan izin kegiatan usaha tanpa dilengkapi izin lingkungan.
Tujuan penegakan hukum lingkungan melalui hukum administrasi diorientasikan terhadap kegiatan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup melalui wewenang administrasi serta court review terhadap putusan tata usaha negara.
Melalui PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, Bupati/Walikota maupun Gubernur diberikan peluang untuk menjatuhkan sanksi administratif, antara lain berupa penyegelan semua saluran pembuangan limbah, penghentian sementara kegiatan dan atau pencabutan izin pembuangan limbah, bahkan Bupati/Walikota melalui kewenangan distributif Gubernur dapat melakukan tindakan berupa perintah kepada penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha untuk melakukan penanggulangan pencemaran atau perusakan atas beban biaya penanggungjawab kegiatan atau usaha.
Berdasarkan Pasal 37 ayat (2) huruf c UU PPLH, melalui putusan PTUN, izin lingkungan yang merupakan syarat untuk mendapatkan izin usaha dapat dibatalkan apabila penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL.
Sedangkan terhadap pelanggaran izin lingkungan, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dapat menerapkan sanksi administratif berupa: teguran tertulis, paksaan Pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan. Namun, sanksi administratif tersebut tidak lantas membebaskan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan dilakukan apabila penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebelumnya tidak melaksanakan paksaan Pemerintah. Sebagaimana diketahui paksaan Pemerintah merupakan salah-satu sanksi administratif yang dijatuhkan terhadap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melanggar izin lingkungan.
Paksaan Pemerintah tersebut pada UU PPLH meliputi; penghentian sementara kegiatan produksi, pemindahan sarana produksi, penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi, pembongkaran, penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbukan pelanggaran, penghentian sementara seluruh kegiatan atau tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Segi Hukum Pidana

Korban tenggelam di kolam bekas tambang. (AH Ari B – Hello Borneo)
Proses peradilan pidana dimulai dengan adanya laporan dan/atau pengaduan, diketahui sendiri oleh penyidik atau tertangkap tangan. Sehingga sejatinya apabila terdapat good action dari penyidik proses peradilan pidana dapat dilaksanakan tanpa menunggu sampai adanya laporan atau pengaduan.
Namun, tampaknya good action itu hanya ada di dunia retorika. Karena padanan dari dua kata itu telah menjadi barang mahal karena sifatnya yang antik dan mungkin anomali bila terjadi.
UU PPLH mengategorikan pelanggaran ketentuan pidananya sebagai sebagai suatu tindakan kejahatan. Tindakan kejahatan tersebut diancam dengan pidana dan/atau denda. Diatur pada BAB XV Pasal 97 hingga Pasal 120 UU PPLH.
Selain diancam dengan pidana penjara dan/atau denda, dapat dikenakan pula pidana tambahan terhadap badan usaha berupa: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebagaian tempat usaha dan/atau kegiatan, perbaikan akibat tindak pidana, pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan atau penempatan perusahaan di bawah pengampuan selama 3 (tiga) tahun.
Beberapa Kelemahan Penegakan Hukum Lingkungan

Kerusakan bekas lubang tambang memperparah wajah bumi. (Gusti – Hello Borneo)
Penegakan hukum merupakan suatu siklus berjalan dalam sub sistem hukum. Hukum dan proses penegakannya tidak berada di ruang kosong. Sebagai suatu sub sistem, hukum menjadi variabel terpengaruh (dependent variabel). Terpengaruh oleh anasir-anasir di luar hukum seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan serta konflik kepentingan dan kekuatan modal.
Lawrence Mield Friedmen mengategorikan 3 (elemen) yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum, di antaranya: berkaitan dengan substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture). Sedangkan, 3 (tiga) elemen tersebut selalu menghantui proses penegakan hukum di Indonesia, termasuk pula penegakan hukum lingkungan.
Adapun beberapa faktor kelemahan penegakan hukum di Indonesia adalah dominasi kekuatan modal dalam proses penegakan hukum, intervensi kekuasaan yang menghamba pada modal, merosotnya kinerja Pengadilan yang ditandai dengan lemahnya pemahaman dan sensitifitas hakim terhadap isu lingkungan, dan konflik kepentingan (conflict of interest). (rol)
*Penulis adalah fasilitator Workshop Mitigasi Bencana Mahupala FH Universitas Bengkulu.
Sangat membantu sekali