Washington DC, helloborneo.com – Pelari maraton Corey Cappelloni memiliki catatan lari yang mengagumkan. Ia telah melakukan berbagai jenis maraton, termasuk lomba enam hari di Gurun Sahara, yang diyakini sebagai salah satu ultramaraton terberat di dunia. Tetapi yang terakhir, lari 350 kilometer dari Washington DC ke Scranton, Pennsylvania, mungkin yang paling sulit di antara semuanya.
Pada penghujung larinya, ia bertemu neneknya, yang didiagnosis terjangkit Covid-19. Ia menjelaskan, “Ia semakin tertekan dan takut, khawatir ia tidak akan lagi dapat melihat kami. Dan tidak ada kontak dengan keluarga! Maksud saya, ia berhubungan melalui telepon, tetapi tidak ada kontak fisik dengan keluarga dan teman-temannya. Semua saya memutuskan untuk mulai mengiriminya hadiah-hadiah kecil setiap pekan. Saya akan mengiriminya buku-buku fotografinya, cokelat dan camilan.”
Gagasan mengenai berlari dari Washington DC ke Scranton untuk menengok Ruth sang nenek muncul dari kekasih Cappelloni, Susan Kamenar. Kamenar mengatakan, “Anda tahu, luar biasa sekali melihat ia menelepon neneknya setiap dua hari, betapa ia berupaya membuat neneknya bersemangat. Saya lihat ini sangat mengharukan!”
Kunjungi Nenek dengan berlari marathon sejauh 350 km
Pasangan ini membahas gagasan tersebut dengan panti jompo di mana Ruth tinggal dan membuatnya sebagai kesempatan untuk menggalang dana bagi fasilitas tersebut.
Berbekal tekad dan peta dari Google Maps, mereka memutuskan Susan akan mendampingi kekasihnya di dalam mobil caravan dan bertanggung jawab untuk logistik dan dokumentasi perjalanan tersebut.
Tetapi beberapa hari sebelum rencana mereka berjalan, Cappelloni diberitahu oleh panti jompo itu bahwa neneknya didiagnosis terjangkit Covid-19.
Kamenar mengemukakan, “Kami menyewa sebuah mobil karavan untuk menuntaskan misi ini; kami ingin sebisa mungkin mandiri dan menjaga jarak, jadi penting sekali bagi kami untuk benar-benar mandiri dan sebanyak mungkin tidak berhubungan dengan orang-orang. Jadi, mobil karavan menjadi rumah kami, saya yang akan mengemudikannya!”
Jarak 350 kilometer dibagi menjadi tujuh bagian, masing-masing sekitar 50 kilometer. Cappelloni menjelaskan, “Biasanya, pada waktu kita melakukan ultramaraton, kita berlatih untuk itu, ada beberapa hari istirahat sebelum ultramaraton, kita melakukannya, lalu bersantai beberapa hari! Sedangkan bagian yang sulit kali ini adalah saya melakukan lari ultramaraton demi ultramaraton. Tujuh ultramarathon, tubuh dan pikiran akan benar-benar lelah dan sakit.”
Pemerintah AS Inginkan Sekolah Buka Kembali, Apa Pendapat Orang Tua?
Pada hari ketujuh, Cappelloni berhasil tiba di panti jompo. Namun ia tidak dapat benar-benar menemui neneknya. Meskipun sang nenek merasa lebih baik, ia sedang dalam karantina yang ketat dan tidak dapat menerima tamu.
Mereka masih dapat berbicara melalui jendela. Cappelloni mengatakan, “Sejujurnya, itu hal terkecil yang dapat saya lakukan karena ia selalu ada untuk saya. Semua yang saya capai dalam hidup, dapat saya lihat berasal darinya. Saya juga ingin menghargai para staf yang merawatnya, mereka benar-benar heroik!.”
Sejauh ini Cappelloni telah mengumpulkan lebih dari 25 ribu dolar, dan donasi terus berdatangan. Dana itu akan digunakan untuk membeli ponsel pintar dan tablet agar para lansia dapat dengan mudah. (voaindonesia/tan)