Samarinda, helloborneo.com – Sidang mahasiswa berinisial FR yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Samarinda kembali dilanjutkan pada Rabu (3/2/2021), di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda.
FR dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12/1951 karena membawa senjata tajam berupa badik saat unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, pada 5 November 2020 silam.
Sidang dengan agenda pembacaan nota keberatan (eksepsi) dari pihak terdakwa disampaikan oleh tim kuasa hukum. Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua, Edy Toto Purba dengan hakim anggota, Agus Raharjo dan Hasrawati Yunus. Termasuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) Melati Warna Dewi.
Salah satu penasihat hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) Kaltim, Fathul Huda Wiyashadi menyampaikan bahwa poin dari eksepsi yang disampaikan adalah mengenai fakta dari aksi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Lalu latar belakang mengapa aksi tersebut dilakukan.
“Setelah itu kami menganalisis syarat-syarat materil dari dakwaan, yang menurut kami itu adalah batal demi hukum. Sebab tak memenuhi syarat materil. Kami memohon kepada majelis hakim bahwa dakwaan itu adalah batal demi hukum,” ungkap Fathul.
Materil yang tak terpenuhi itu salah satu contohnya ialah tidak dijabarkan alasan FR membawa badik. Kemudian terkait motif pun tidak dijelaskan dalam dakwaan. Padahal, Fathul menyebut bahwa itu merupakan hal esensial sesuai modul diklat Kejaksaan Agung.
“Jadi mereka sendiri yang mengeluarkan, lantas tidak dilaksanakan oleh para jaksa ini. Kan aneh,” lanjutnya.
Seluruhnya telah digambarkan tim kuasa hukum dalam eksepsi. Sejak pertama FR ditetapkan sebagai tersangka hingga sekarang, tim kuasa hukum tak pernah diberi kesempatan untuk bertemu dengan tersangka FR, dengan dalih pembatasan pertemuan dampak covid-19.
“Jadi kami bertanya-tanya. Ini ada apa? Yang lain bisa bertemu, kok kami tidak bisa bertemu FR? Bahkan ketika ada ayahnya FR, itu pun agak sedikit dipersulit walau akhirnya bisa bertemu. Bukan dalam rangka koordinasi, tapi dalam rangka mengantarkan ayahnya FR bertemu dengan anaknya. Kalau untuk koordinasi belum pernah ada,” lanjut Fathul.
Fathul pun menyayangkan kejadian ini, membuat dirinya tak maksimal melakukan pembelaan terhadap klien akibat tak bisa berkoordinasi.
Sejak awal persidangan yang dilakukan pada (26/01) lalu,sudah terdapat indikasi unfair trial atau proses persidangan yang tidak adil. Terkait sidang selanjutnya, Fathul menyebutkan akan mendengar tanggapan dari JPU atas eksepsi.
Mengacu pada fakta yang telah diuraikan, tim kuasa hukum FR memohon kepada majelis hakim untuk mengambil putusan yakni menerima eksepsi dari kuasa hukum terdakwa, menyatakan surat dakwaan penuntut umum nomor Reg. Perkara: PDM-02/SAMAR/2021 sebagai dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatalkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima.
Berikutnya membebaskan terdakwa FR dari segala dakwaan, menyatakan perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Memulihkan harkat martabat dan nama baik terdakwa FR, serta membebankan biaya perkara kepada negara. (/sop/hb)