Oleh : Muhammad Fahruraji Annur (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman)
Merujuk dari payung hukum dan konstitusi yang ada di Indonesia hari ini, yaitu setiap warga negara berhak dan bebas untuk berpendapat dimuka umum maupun medium-medium pemuat pesan. Setelah terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), masyarakat tak lagi bebas untuk bisa mengutarakan pendapat maupun menyampaikan pandangannya dimuka umum khususnya di media sosial.
Undang-Undang ini seakan menjadi model dan senjata baru pemerintah maupun oknum-oknum tertentu untuk membungkam serta meredam nalar kritis masyarakat yang mencoba melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah saat ini.
Berdasarkan data Amnesty International Indonesia (AII) sepanjang tahun 2020 saja, jumlah kasus akibat pasal karet UU ITE sebanyak 119 dan 141 orang dinyatakan sebagai tersangka. Menariknya dari 141 orang tersebut 18 diantaranya merupakan aktivis dan jurnalis. Melihat dari data ini ada upaya pembungkaman serius terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia. Hal ini menjadi perhatian serius dan perlu menjadi bahan refleksi kita bersama terkait urgensi dan implementasi UU ITE di Konsitutusi Indonesia
Larangan seseorang melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di UU ITE diatur di Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sedangkan sanksi yang melakukan perbuatan itu diatur di Pasal 45 ayat (3) UU19/2016, yakni: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta,”
Perlu diketahui bahwa ketentuan diatas merupakan delik aduan. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 disebutkan bahwa ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.
Ada 6 macam penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di KUHP, sebagai berikut: Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP), Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP), Fitnah (Pasal 311 KUHP), Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP), Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP), Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP).
Merujuk analisa seorang Pakar hukum Universitas Parahyangan, Prof Asep Warlan Yusuf menyatakan bahwa norma hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan zaman. Tanpa mengabaikan kepastian hukum serta memiliki kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Terutama pada tingkat penataannya.
Norma hukum juga harus dikerangkakan dalam kondisi siap uji secara objektif, dan memiliki daya paksa agar ditaati dan dihormati, serta dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam proses pembuktian.Dengan demikian, sepanjang tidak melanggar hak dan merugikan orang lain, warga masyarakat tidak boleh khawatir untuk menjalankan apa yang diyakini sebagai kebenaran dan mengembangkan bakat kesenangannya serta merasa diperlakukan secara wajar, berperikemanusiaan, adil, dan beradab sekalipun saat melakukan kesalahan.
Terkait dengan pasal-pasal pada Undang-Undang ITE yang dianggap multitafsir, Asep mengatakan rumusan normanya memang diperlukan. Namun dalam pelaksanaannya berpeluang disalahgunakan dan dijalankan sewenang-wenang. Pasal-pasal “karet” tersebut menggunakan rumusan norma yang terbuka sehingga tidak memiliki kepastian hukum yang tinggi.
Demikian juga dalam beberapa pasal di dalam UU ITE banyak yang dirasa merupakan pasal karet dan multitafsir, sehingga terkadang dijadikan alat untuk mempidanakan orang-orang yang menyampaikan pendapatnya di media sosial, bahkan korbannya tak hanya masyarakat biasa, jurnalis yang merupakan pencari kabar dan penyebar luas informasi kepada khalayak pun turut terancam dengan adanya UU ITE tersebut.
Padahal profesi jurnalis turut dilindungi Konstitusi, Yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, dalam undang-undang ini diatur secara jelas dan rinci perihal prinsip, ketentuan dan hak-hak penyelenggara pers di Indonesia. Sehingga secara absolut dan konkrit jurnalis memiliki kebebasan untuk melakukan kegiatan persnya, namun hal ini tetap mengacu pada kode etik jurnalistik sebagai pedoman dalam mencari, menulis hingga menyebarluaskan beritanya.
Sehingga secara nyata dan massif, UU ITE berpotensi mencoreng kebebasan berpendapat di Indonesia, serta menciderai amanat UUD 1945 sebagai landasan konstitusi Republik Indonesia.
Harapan ke depan pihak-pihak terkait baik legislatif, eksekutif hingga yudikatif menyadari potensi-potensi negatif imbas UU ITE ini bagi kegiatan berwarga negara seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga perlu kemudian untuk melakukan revisi maupun penyempurnaan terhadap pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE. (/sop)