Kontroversi Mitra Ojol, Ini Dampak Sosial-Ekonomi jika Driver Diangkat JadiPegawai

Jakarta, helloborneo.com – Diskursus mengenai perubahan status mitra pengemudi ojek online (ojol) menjadi pekerja formal kembali mencuat ke permukaan. Sejumlah petinggi dari perusahaan ride-hailing di Indonesia menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap dampak kebijakan ini terhadap ekosistem transportasi daring dan keberlangsungan para mitra pengemudi.

Dalam diskusi publik bersama Menteri Perhubungan yang berlangsung di Jakarta,  Direktur Bisnis inDrive Indonesia, Ryan Rwanda, menyatakan bahwa perubahan status mitra ojol menjadi pegawai akan membawa konsekuensi besar bagi perusahaan dan mitra itu sendiri.

“Kalau dari sisi kami, perhitungan saya kemarin, bisa-bisa hanya tersisa sekitar 10–13 persen driver yang aktif. Ini perhitungan kasar ya, dan pengurangan pendapatan mereka bisa sampai minus 7 persen per bulan,” ujar Ryan.

Ryan menjelaskan bahwa jika mitra ojol harus diangkat menjadi pekerja tetap, perusahaan aplikasi seperti inDrive wajib memenuhi sejumlah hak normatif sesuai ketentuan ketenagakerjaan.

Hal itu mencakup pertama, Jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan, kedua, Asuransi tambahan, ketiga, Pengaturan jam kerja, dan keempat, Pemenuhan standar upah minimum dan cuti

Dengan sistem tersebut, perusahaan akan melakukan seleksi ketat terhadap para driver, yang berdampak pada berkurangnya jumlah pengemudi aktif secara drastis.

“Kalau driver jadi pegawai tetap, tentu kami harus membuat persyaratan-persyaratan tertentu yang lebih ketat. Itu yang akan membuat jumlah driver jauh lebih sedikit karena beban tersebut,” tambah Ryan.

Kebijakan itu diperkirakan tidak hanya akan memengaruhi para pengemudi, tetapi juga ekosistem yang lebih luas. Ryan menilai akan ada efek domino terhadap pelaku ekonomi digital lainnya seperti pedagang UMKM yang sangat bergantung pada layanan antar dari mitra ojol.

Sementara itu, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy, mengungkapkan kekhawatirannya terkait hilangnya fleksibilitas yang selama ini menjadi daya tarik utama pekerjaan sebagai pengemudi ojol.

“Kami sebetulnya menjadi bantalan sosial. Misalnya untuk orang yang menunggu panggilan kerja, mahasiswa yang butuh uang tambahan, dan sebagainya. Karena fleksibilitas ini, mereka bisa narik atau tidak, itu terserah mereka,” jelas Tirza.

Tirza juga menekankan bahwa dengan status sebagai pegawai, mitra pengemudi akan terikat pada kontrak kerja, yang akan membatasi jam operasional mereka sesuai kebijakan perusahaan.

Senada dengan Grab dan inDrive, Presiden On-Demand Services GoTo, Catherine Hindra Sutjahyo, menyatakan bahwa sistem kemitraan yang diterapkan saat ini memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk mendapatkan penghasilan tanpa terikat waktu dan kewajiban administratif seperti pekerja kantoran.

“Model ini memberikan fleksibilitas terhadap ekosistem untuk menyerap lebih banyak orang yang ingin berkarya dan mencari pendapatan tambahan,” tutur Catherine.

Menurutnya, sistem ini justru membantu pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran dan memperluas lapangan kerja informal yang legal dan produktif.

Isu ini muncul seiring meningkatnya dorongan dari sebagian kalangan agar pemerintah mengatur ulang hubungan antara aplikator dan mitra driver, mengingat besarnya peran ojol dalam kehidupan masyarakat.

Kelompok buruh dan pengamat kebijakan publik mendorong agar pengemudi ojol mendapatkan perlindungan formal yang layak sebagai pekerja, termasuk hak atas jaminan sosial, upah minimum, dan keamanan kerja.

Namun, perusahaan ride-hailing menilai bahwa pendekatan tersebut tidak bisa disamakan dengan sektor kerja konvensional. Sistem kemitraan dianggap sebagai bentuk kerja baru di era digital yang memerlukan regulasi tersendiri agar tidak mematikan ekosistemnya.

Polemik itu mencerminkan kebutuhan akan regulasi yang seimbang antara perlindungan hak pekerja dan kebutuhan fleksibilitas ekonomi digital. Pemerintah diharapkan dapat menyusun skema “hybrid” yang tidak hanya menjamin perlindungan sosial bagi para pengemudi, tetapi juga tidak membebani perusahaan hingga mengorbankan lapangan kerja yang sudah ada.

Ke depan, dialog antara pemerintah, pelaku usaha, dan perwakilan mitra driver sangat dibutuhkan untuk menemukan solusi inklusif yang mampu menjaga ekosistem transportasi daring tetap tumbuh berkelanjutan di Indonesia. (ip/log)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses