Kunjungi Pupuk Kaltim, Airlangga Hartanto Apresiasi Seluruh Industri di Bontang

Arsyad Mustar

 

Menteri perindustrian airlangga hartanto didampingi direktur utama pupuk kaltim bakir pasaman saat diwawancarai awak media (ist)

Bontang, helloborneo.com – Menteri Perindustrian Republik Indonesia, Airlangga Hartanto melakukan kunjungan kerja industri petrokimia ke Pupuk Kalimantan Timur, Sabtu (7/7). Kunjungan tersebut disambut hangat Pinpinan dan Managemen Pupuk Kaltim.

Saat memberikan sambutan, Airlangga Hartanto menyampaikan beberapa hal terkait industri petrokimia. “Kunjungan ini kami melihat sektor-sektor mana lagi yang perlu dikembangkan di Pupuk Kaltim dan anak perusahaan lainnya,” katanya.

Ia mengatakan, perlunya pengembangan sektor industri lantaran Indonesia saat ini dipandang sebagai salah satu negara industri terbesar di dunia. Dalam 2 dekade terakhir, industri manufaktur menunjukkan perkembangan yang sangat menjanjikan, terutama dari aspek nilai tambah manufaktur.

Hal tersebut salah satunya ditunjukkan dengan perkembangan industri kimia di Indonesia yang cukup baik. Pada tahun 2017, pertumbuhan industri kimia mencapai 3,48% dengan pertambahan nilai investasi mencapai Rp. 42.2 Triliun.

Alumnus Tehnik Mesin Universitas Gajah Mada (UGM) itu menyampaikan, menurut World Bank, Indonesia telah berhasil membangun siklus ekonomi yang sehat, sehingga menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Hal ini berdasarkan peringkat PDB Global dimana pada tahun 2000 Indonesia berada pada peringkat 27 sedangkan pada tahun 2016 naik menjadi peringkat ke-16.

World Bank bahkan memproyeksikan pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi Top 10 ekonomi 4 terbesar di dunia. Hal ini tentunya dapat tercapai dengan memperbaiki kondisi perekonomian nasional dengan mengembalikan posisi ekspor netto ke level yang sama di tahun 2000, yaitu 10% kontribusi Ekspor Netto terhadap PDB.

Selanjutnya,meningkatkan produksi dengan mengelola biayanya seperti dengan perkembangan India, serta membangun kemampuan inovasi lokal setingkat yang sama dengan China.

“Revolusi Industri sudah mencapai generasi yaitu adanya integritas antara dunia digital dengan produksi industri untuk meningkatkan efisiensi nilai proses industri,” ujarnya.

Menurutnya, Pemerintah telah berkomitmen untuk membangun industri manufaktur yang berdaya saing global melalui percepatan implementasi Industri. Hal ini ditandai dengan peluncuran Making Indonesia pada tanggal 4 April 2018 oleh Presiden Joko Widodo sebagai sebuah peta jalan dan strategi.

Indonesia memasuki era digital yang tengah berjalan saat ini. Implementasi Making Indonesia yang sukses akan mampu mendorong pertumbuhan PDB riil sebesar 1-2 persen per tahun, sehingga pertumbuhan PDB per tahun akan naik dari baseline sebesar 5 persen menjadi 6-7 persen pada periode tahun 2018-2030.

Dari capaian tersebut, industri manufaktur akan berkontribusi sebesar 21-26 persen terhadap PDB pada tahun 2030. Selanjutnya, pertumbuhan PDB bakal digerakkan oleh kenaikan signifikan pada ekspor netto, di mana Indonesia diperkirakan mencapai 5-10 persen rasio ekspor netto terhadap PDB pada tahun 2030.

Selain kenaikan produktivitas, Making Indonesia menjanjikan pembukaan lapangan pekerjaan sebanyak 7-19 juta orang, baik di sektor manufaktur maupun non-manufaktur pada tahun 2030 sebagai akibat dari permintaan ekspor yang lebih besar.

Industri kimia merupakan salah satu sektor industri yang menjadi fokus penerapan Industri karena dinilai mampu memberikan dampak besar terhadap kontribusi PDB, perdagangan, nilai investasi, dan perkembangan industri lainnya di Indonesia.

Pada tahun 2017, sektor industri kimia menjadi salah satu penyumbang utama kontribusi terhadap PDB yaitu 1,73% atau sebesar Rp 236 Triliun, dimana industri petrokimia menjadi salah satu penghasil komoditas bahan baku penting untuk sektor industri lainnya.

Pria berkulit sawo matang itu berujar, Industri Petrokimia di Bontang, Kalimantan Timur merupakan klaster industri petrokimia pertama yang sudah berjalan lebih dari 30 tahun yang dimulai dengan berdirinya PT. Pupuk Kalimantan Timur pada tahun 1977.

“Hingga saat ini telah terdapat 5 industri petrokimia yang berada di kawasan Kaltim Industrial Estate (KIE) Bontang dengan komoditi yang beragam yaitu Amoniak, Pupuk Urea, Methanol, dan Amonium Nitrat,” tuturnya.

Menurutnya, hal utama yang menjadikan industri petrokimia berkembang di Bontang adalah ketersediaan bahan baku yaitu gas bumi. Kebutuhan gas bumi untuk industri di Bontang mencapai 452 MMSCFD atau sekitar 59% dari penggunaan gas bumi domestik di wilayah Kalimantan Timur.

Ini tentunya perlu perhatian yang besar dari Pemerintah terhadap jaminan pasokan gas bumi jangka panjang dengan harga yang wajar untuk menjaga kelangsungan seluruh industri tersebut agar dapat berkembang dengan struktur yang kokoh dan berkelanjutan.

Saat ini, kata Dia, masih terdapat sekitar 804 MMSCFD gas bumi dari wilayah Kalimantan Timur yang diekspor ke luar negeri. Memperhatikan pasokan gas alam yang cenderung menurun, Pemerintah perlu memastikan pemanfaatan gas bumi diutamakan kepada industri di dalam negeri.

“Pemerintah perlu menjaga agar tidak ada perpanjangan pasokan untuk kontrak penjualan gas bumi ke luar negeri,” urainya.

Dengan demikian, pasokan gas yang ada di Kalimantan Timur dapat diprioritaskan kepada kebutuhan domestik terutama kelangsungan industri petrokimia di Bontang. Kementerian Perindustrian akan terus mendukung agar industri petrokimia di Bontang dapat terus berkembang.

Selain kepastian pasokan bahan baku, Pemerintah akan mendorong industri petrokimia dalam upgrading teknologi dan peningkatan kemampuan R&D agar dapat meningkatkan efisiensi pabrik. Hal tersebut sejalan dengan penerapan Industri sehingga industri tumbuh dengan berdaya saing kuat.

“Mengingat lokasi industri petrokimia di Bontang berada dalam kawasan timur Indonesia, keberadaan industri ini tentunya mendorong dalam mempercepat pembangunan di Indonesia bagian timur. Untuk itu, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang besar kepada seluruh industri yang berada di Bontang, Kalimantan Timur yang telah berkomitmen dalam mendukung pembangunan industri nasional,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Utama Pupuk Kaltim Bakir Pasaman mengatakan, meski di Pupuk Kaltim ada ekspor, produsen amoniak dan urea, dirinya optimistis dapat terus memenuhi kapasitas dalam negeri.

Masuknya produk pupuk impor tersebut berasal dari berbagai negara, seperti Arab Saudi dan negara-negara lain penghasil pupuk. Terbanyak dari Tiongkok, namun saat ini sudah berkurang kendati masih ada impor.

Kata Bakir, industri di Indonesia terbilang masih banyak yang menggunakan urea asal luar negeri. Padahal, di dalam negeri sendiri terdapat priduk unggulan. Meski begitu, lanjut ia menyampaikan, jumlah ekspor dan impor tersebut masih imbang-imbang saja.

“Artinya, industri-industri dalam negeri yang memerlukan bahan baku, sebaiknya tidak menggunakan produk impor, namun tetap menggunakan hasil industri nasional,” tukasnya.

Diketahui, kapasitas produksi urea saat ini mencapai 3,4 Juta Ton per tahun dengan kapasitas ekspor tahun lalu 600 Ribu Ton. Sedangkan produksi Ammoniak 2,8 Ton per tahun yang dikonversi menjadi urea. (advertorial/am/tan)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.