Pilkada 2020 Politik Uang Sebuah Penurunan Kualitas Demokrasi

N Rahayu

Politik Uang dalam Pusaran Pilkada. (Flyer)
Politik Uang dalam Pusaran Pilkada. (Flyer)

Balikpapan, helloborneo.com – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang sudah di depan mata, menjadi perbincangan serius berbagai kalangan. Alih-alih menghasilkan pemimpin berkualitas, Pilkada malah memunculkan fenomena baru, selain politik uang, kekerabatan, serta oligarki-oligarki menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Toleransi terhadap kontestasi-kontestasi politik termasuk di dalamnya money politic menjadikan demokrasi di Indonesia mengalami penurunan kualitas.

Dalam diskusi virtual yang mengangkat tema dengan tema Politik Uang dalam Pusaran Pilkada, Ebin Marwi, Komisioner Bawaslu Provinsi Kaltim menjelaskan bahwa politik tidak akan pernah mati, jika menilisik ke masa orde baru, tidak ada money politic sebab pada masa orde baru, di pemilihan umum, sudah jelas siapa pemenangnya

“Karena sebelum perangkat peraturan dimulai, sudah diketahui pemenang dipemilu pada saat itu siapa di era orde baru. Berbeda dengan demokrasi, dari seperangkat kontestasinya yang sudah jelas, masih saja belum diketahui siapa pemenangnya. Situasi itulah yang menjadikan money politic sebagai bawaan sistem demokrasi,” jelas Ebin.

Dalam kesempatan yang sama, M. Fajar Shadiq Ramadan, Pengajar Ilmu Politik Fisip Universitas Brawijaya mengatakan problem pemilu itu soal pendalaman demokrasi, pemilu hanya persoalan menang atau kalah, namun dewasa ini kontestasinya bergeser menjadi persoalan harga diri.

Dimana aturan-aturan pemilu menjadi rentan untuk dilanggar, sebab kontestan pemilu itu sendiri, menganggap pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan bagian dari permainan untuk memenangkan Pemilu atau Pilkada. Itulah yang menyebabkan angka pelanggaran pemilu jauh lebih banyak dari apa yang tercatat dan apa yang dilaporkan.

Pemilu punya banyak ruang untuk aspek-aspek pelanggaran, contohnya di Indonesia pemilu merupakan sesuatu yang sangat kompleks karena dalam suatu pemilihan, bisa memilih hingga empat kertas suara, hal itu jelas menjadi jalan mudah terjadinya politik uang,” tegas Fajar.

Bawaslu, sebagai tameng terdepan dalam berbagai problem kompleks dalam pilkada atau pemilu, jelas sudah semakin kuat dibandingkan pada tahun 2007, yang pada saat itu masih menjadi Panwas, saat ini telah berubah menjadi Badan, artinya Bawaslu memiliki kewenangan-kewenangan yang lebih kuat, mulai dari persoalan anggaran pilkada, hingga hal-hal lain.

Namun persoalannya adalah yang dihadapi Bawaslu jauh lebih besar daripada kapasitasnya, soal money politik itu adalah sesuatu yang sangat sulit untuk diamati. Biasanya kasus yang diketahui hanya berdasar pada laporan, namun yang tidak dilaporkan justru jauh lebih banyak.

“Sejauh penelitian saya, banyak orang-orang yang sudah memiliki hak pilih namun tidak datang ke TPS, karena tidak diberikan uang, sekalipun orientasi pemilihannya sudah cukup jelas, hal itu menjadi sesuatu yang wajar dan diterima oleh masyarakat. Toleransi terhadap kontestasi-kontestasi politik termasuk di dalamnya money politic menjadikan demokrasi di Indonesia mengalami penurunan kualitas,” tutupnya.

Diskusi virtual yang mengangkat tema Politik Uang dalam Pusaran Pilkada diselenggakan oleh Komunitas Timur Lawu dan Balikpapan Televisi, pada Jumat (17/07/2020) silam. Diskusi yang berlangsung dengan durasi dua jam lebih tersebut diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat dan didukung oleh Umak Communal Space, Kata Kerja Coffee and Life, Rumah Seni Nirmana, Natural Kopi, Titik Tengah, Hello Borneo. (sop/tan)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses