Rapal JKN
Tana Paser, helloborneo.com – Keputusan dari Pengadilan Negeri (PN) Tanah Grogot, terhadap kasus lahan SMK Negeri 3 yang membuat Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Paser harus menanggung utang hingga Rp26 Miliar, diianggap tak wajar. Pasalnya bila melihat dari lokasinya sendiri penetapan harga tanah Rp250 ribu meter perseginya.
Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Paser Paulus Margita mengatakan, pihaknya tak mau terlalu larut dalam persoalan lahan SMK Negeri 3. Namun dengan besaran beban utang yang diharuskan membayar, membuat pihaknya tak mampu melunasi seluruhnya.
Bahkan Paulus mengatakan, keputusan dari PN tak wajar. Pasalnya sebelum menjatuhkan harga Rp500 ribu, PN pada tahun 2010 menyatakan kalau harga tanah Rp250 ribu per meter persegi, ditambah denda keterlambatan. Namun saat diajukan banding malah naik dua kali lipat.
“Kalau melihat kas daerah, untuk melunasi utang sebesar Rp26 Miliar tentu daerah tak akan mampu,” ujar Paulus.
“Lagi pula keputusan PN itu tak wajar. Apalagi bila melihat lokasi lahannya, belum mencapai kisaran harga Rp500 perseginya. Namun karena ini keputusan PN kami akan tetap berupaya menjalankan,” jelas Paulus.
Namun meski demikian Paulus menyatakan, pihaknya akan kembali melakukan renegosiasi kepada pihak penggugat terkait utang yang dimiliki Pemda. Pasalnya Ia meyakini permasalahan lahan di SMK Negeri 3 bukan kesalahan dari Pemda Paser.
Pasalnya sejak kasus tersebut diputuskan, Pemda sudah memiliki rencana untuk melunasi dengan memberikan uang sebesar Rp500 juta per ahli waris namun, niat baik dari Pemda dimentahkan begitu saja.
“Kami akan kembali mencoba re negosiasi pada pihak penggugat,” tuturnya.
“Lagi pula, utang yang mencapai Rp26 miliar itu bukan sepenuhnya salah Pemda. Karena kami sudah mau membayar namun ahli warisnya saja yang menolak,” ungkap Paulus.
Untuk diketahui, kasus bermula dari dana provinsi yang bergulir 2006 untuk perbaikan gedung SMK Negeri 3, kemudian Pemda melalui salah satu ahli waris melakukan deal-dealan untuk pembagunan. Namun setelah 2007, ahli waris tanah yang lain merasa tak terima. Sehingga menuntut Pemerintah daerah Paser. (rol)