Penolakan Protokol Pemakaman Covid-19 di Samarinda Picu Ketidakpatuhan Publik

Poto Istimewa.

Samarinda, helloborneo.com – Penolakan protokol pemakaman Covid-19 di Samarinda memicu ketidakpatuhan publik. Kejadian pertama berlangsung pada 10 Juli lalu, dikabarkan seorang pasien meninggal karena positif Covid-19 dan pihak keluarga memilih jasad almarhum dikebumikan di kampung halamannya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kejadian serupa terjadi pada 26 Agustus kemarin, pasien positif Covid-19 meninggal dunia di RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS) dan keluarga mendiang memilih menandatangani surat penolakan prosedur pemakaman Covid-19.

Akademikus Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyoroti beberapa hal dalam kejadian ini. Pertama, tidak konsistennya masyarakat dan pemerintah menjalankan protokol pemakaman pasien positif Covid-19. Hal ini dikhawatirkan berimplikasi buruk terhadap penyebaran pandemi. Castro, sapaan akrab Herdiansyah, menilai bahwa Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19 tingkat kota dan provinsi bertanggung jawab penuh atas situasi ini.

“Mereka punya otoritas penuh atas kejadian ini,” kata Castro kepada helloborneo.com, Kamis (27/8/2020).

Dalam hukum, ia menyebut ada istilah ‘equality before the law principle’ atau asas persamaan setiap warga negara di mata hukum. Secara eksplisit disebutkan dalam pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. Dia khawatir, kedua kejadian ini menjadi preseden buruk yang memicu keluarga pasien Covid-19 lain meminta perlakuan sama agar jenazah koleganya dikebumikan tanpa protokol Covid-19.

“Ini bisa jadi preseden buruk yang memicu ketidakpatuhan publik yang berujung kepada pembangkangan hukum. Tidak akan ada yang taat terhadap protokol sebab publik menuntut perlakukan yang sama,” tuturnya.

“Jangan sampai hanya karena (pasien Covid-19) seseorang keluarga pejabat atau memiliki kekayaan, lantas diberikan pengecualian terhadap protokol. Itu jelas merusak sistem hukum,” sambungnya.

Pria yang kini sedang menyelesaikan studi S3 hukum tata negara di Universitas Gadjah Mada ini menilai, pelanggaran protokol ini berkonsekuensi potensi pidana. Bahkan bisa dikenakan pasal berlapis. Terlebih, dampaknya dapat membahayakan nyawa dan keselamatan manusia.

Castro menjelaskan, pihak yang menghalangi protokol pemakaman dapat dikenakan pasal 212 KUHP, pasal 14 ayat 1 Undang-Undang 4/1984 tentang Wabah Penyakit. Termasuk pasal 93 Undang-Undang 6/2008 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

“Problemnya sekarang, keberanian aparat penegak hukum untuk konsisten dalam menegakkan aturan itu. Jika tidak ditegakkan, kejadian pelanggaran protokol ini akan terus berulang,” tuturnya. (/sop/hb)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.