Jakarta, helloborneo.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia kembali mengkritisi 17 pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi memberangus kebebasan pers di Indonesia, antara lain pasal 240 dan pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah, serta pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses pengadilan. Dalam pasal 280 media bahkan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan.
“Ini masih ada ancaman akan mengganggu kerja-kerja teman jurnalis karena kita tahu peradilan di Indonesia itu masih memerlukan pemantauan yang luar biasa karena ada banyak kasus di peradilan, ada mafia-mafia peradilan yang kita mesti akui masih ada sampai sekarang,” ujar Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim, dalam Aksi Jurnalis Tolak RKUHP di kanal YouTube AJI Indonesia.
Selain menuntut untuk menghapus 17 pasal itu, AJI Indonesia juga mendesak agar pengesahan RKUHP tidak dilakukan secara terburu-buru.
“AJI menyisir pasal-pasal yang memang ini sangat berpotensi mengganggu kerja-kerja jurnalis, memberangus kemerdekaan pers dan juga tidak menutup kemungkinan pasal-pasal itu akan mengantarkan teman-teman jurnalis ke jeruji besi,” jelas Sasmito.
Somad, seorang jurnalis asal Jakarta, berpendapat pasal-pasal bermasalah di RKUHP dapat menjerat siapa saja, termasuk masyarakat sipil.
“Jangan-jangan perkataan kita yang tidak dimaksud menghina, dianggap menghina. Jangan-jangan yang menafsirkan penghinaan itu, yang bisa menggunakan –pasal- penghinaan itu adalah orang-orang yang berkuasa,” ujar Somad yang menilai pasal itu tidak relevan tapi tetap dimunculkan di RKHUP.
Membatasi Kebebasan Pers
Anggota Dewan Pers, Ninik Rahayu, menilai keinginan pemerintah dan DPR RI yang akan mengesahkan RKUHP saat publik masih mempertanyakan substansi dan proses penyusunannya, menunjukkan bahwa secara tidak langsung pemerintah dan DPR mencoba menghempaskan demokrasi. Kebebasan pers menurut Ninik, merupakan bentuk demokrasi yang paling praktis, strategis yang dibutuhkan bangsa Indonesia.
“Maka ketika kebebasan pers diberangus dilakukan dengan berbagai cara dan kita sudah memberikan masukan, rasanya pemerintah tidak berkomitmen pada demokrasi. Demokrasi yang diperjuangkan, yang sudah disepakati sebagai salah satu bentuk kita bernegara, kita sendiri, pemerintah dan DPR sendiri yang akan mencerabutnya,” ujarnya.
Ninik mengingatkan di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, ditegaskan kebebasan pers merupakan bagian penting dari demokrasi. Untuk itu kemerdekaan pers juga diharapkan tercermin di dalam undang-undang KUHP yang baru.
“Jadi upaya kriminalisasi dalam KUHP itu tidak sejalan dengan apa yang diatur dalam undang-undang empat puluh tahun 99. Kenapa? Karena unsur penting berdemokrasi adalah dengan kemerdekaan berbicara, kemerdekaan berpendapat, dan salah satunya adalah kemerdekaan pers,” kata Ninik Rahayu yang berharap rencana pengesahan RKUHP dapat ditunda.
Dalam surat yang dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo pada Oktober 2022, Dewan Pers berpandangan secara substansi RKUHP masih bermuatan membatasi kemerdekaan PERS dan berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik.
Batasan Ketat Antara Penghinaan dan Kritik
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Hiariej, Senin (28/11) usai rapat terbatas mengenai progres RUU KUHP mengungkapkan penjelasan dalam pasal yang berkaitan dengan penyerangan harkat dan martabat presiden maupun penghinaan kepada pemerintah dan lembaga negara memberikan batasan yang ketat membedakan antara penghinaan dan kritik.
“Dan penjelasan di dalam kedua pasal tersebut, kami merujuk kepada Undang-Undang PERS yang disitu ditegaskan dalam satu negara demokrasi kritik tersebut diperlukan sebagai kontrol sosial,” kata Eddy melalui YouTube Sekretariat Kabinet RI, seraya menambahkan “dengan penjelasan yang detail, maka pasal-pasal tersebut tidak akan mengalami multi interpretasi.” (voa/log)