Boston, helloborneo.com – Dua perempuan yang kehilangan pekerjaannya di Twitter ketika miliarder Elon Musk mengakuisisi perusahaan itu, pada Kamis (8/12), menuntut perusahaan itu di pengadilan federal, dengan mengklaim bahwa PHK massal yang terjadi secara tiba-tiba pada bulan lalu dilakukan secara tidak proporsional dan berdampak pada pekerja perempuan.
Gugatan diskriminasi itu merupakan yang terbaru dari serangkaian tantangan hukum terhadap pengurangan pekerja di Twitter yang dilakukan oleh Musk, melalui PHK massal dan sejumlah pemecatan.
Beberapa hari setelah orang terkaya di dunia itu mengakuisisi platform media sosial itu dengan harga $44 miliar, perusahaan itu memberitahu sekitar separuh pekerjanya bahwa mereka tidak lagi memiliki pekerjaan tetapi akan mendapat pesangon sebesar tiga bulan gaji pada tanggal 4 November.
Gugatan yang diajukan di pengadilan federal San Fransisco pada minggu ini menuduh terdapat 57 persen pekerja perempuan yang diberhentikan, dibandingkan dengan pekerja laki-laki yang jumlahnya kurang dari separuh persentase itu. Sebelum PHK tersebut terjadi, Twitter secara keseluruhan mempekerjakan lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan.
Pengurangan pekerja berlanjut sepanjang November lalu ketika Musk memecat para insinyur yang mempertanyakan atau mengkritiknya, dan memberitahu semua pekerja pilihan yang tersisa untuk mengundurkan diri dengan pesangon, atau menandatangani formulir yang berisi perjanjian pekerjaan “yang sangat keras,” jam kerja yang panjang dan dedikasi pada arah baru Twitter.
Banyak pekerja yang juga kehilangan pekerjaan mereka setelah menolak menandatangani perjanjian itu.
Gugatan hukum itu menuduh Twitter juga merugikan perempuan secara tidak proporsional, “yang lebih sering menjadi pengasuh anak-anak atau anggota keluarga lain, dan karenanya tidak dapat memenuhi tuntutan dalam perjanjian itu.”
Menurut pengajuan dokumen kepada regulator sekuritas, Twitter, yang berkantor di San Fransisco, memulai tahun ini dengan sekitar 7.500 pekerja di seluruh dunia. Namun setelah menjadi perusahaan swasta, belum diungkapkan berapa banyak yang tersisa. Twitter juga belum menanggapi permintaan komentar yang disampaikan padanya.
Gugatan hukum yang diajukan pada Rabu (7/12) malam lalu oleh Carolina Bernal Strifling dan Willow Wren Turkal itu mengatasnamakan seluruh pekerja perempuan yang menghadapi situasi serupa, dan mengklaim diberhentikan pada 4 November lalu.
Kesenjangan lebih besar tampak pada perempuan yang bekerja pada bidang teknik, di mana 63 persen diantara mereka diberhentikan; dibandingkan 48 persen laki-laki dengan peran yang sama. Hal ini tampak dalam gugatan yang diajukan oleh pengacara hak pekerja terkemuka asal Boston, Shannon Liss-Riordan, yang gagal dalam kampanye untuk menjadi jaksa agung Massachusetts pada awal tahun ini. (voa/log)