Akademisi: Potensi Korupsi Sudah Tercermin dari Proses Pembentukan KUHP

Demonstrasi pengesahan UU KUHP di luar gedung DPR RI di Jakarta , 5 Desember 2022. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Demonstrasi pengesahan UU KUHP di luar gedung DPR RI di Jakarta , 5 Desember 2022. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Jakarta, helloborneo.com – Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia (STHI) Jentera Fajri Nursyamsi mengatakan peta potensi korupsi sudah tercermin dari proses pembentukan KUHP baru.

Ia mengutip pendapat pakar pemberantasan korupsi Robert Klitgaard yang mengatakan bahwa rumusan korupsi terdiri dari kondisi yang dimonopoli oleh suatu kelompok, ditambah diskresi yang luas, tetapi minim pertanggungjawaban. Poin-poin yang tersebut, katanya, terlihat dalam proses pembentukan KUHP baru. Sebagai contoh soal monopoli terlihat dari proses pembentukannya yang dimonopoli kelompok tertentu, dan minim mengakomodasi kelompok rentan seperti disabilitas.

“Jadi seolah-olah KUHP ini hanya dimiliki kelompok tertentu sehingga bias di banyak aspek. Dari proses pembentukannya, kelompok disabilitas adalah salah satu kelompok yang tidak pernah dilibatkan,” tutur Fajri dalam diskusi daring.

Fajri menambahkan KUHP juga berpotensi menimbulkan bibit korupsi karena adanya diskresi yang besar, tetapi minim pertanggungjawaban. Ia mencontohkan di Pasal 100 KUHP tentang hukuman mati. Dalam pasal itu, terpidana dapat dianulir jika sudah menjalani hukuman 10 tahun dan menunjukkan sikap terpuji. Kendalanya adalah siapa yang akan menentukan dan mengawasi penentuan sikap terpuji seseorang.

“KUHP tidak banyak mengatur bagaimana hal itu dilakukan. Bahkan cenderung dalam rumusannya tidak disebutkan siapa yang akan menentukan sikap terpuji tersebut,” tambahnya.

Selain itu, ia juga menyoroti Pasal 218 KUHP tentang tindak pidana penyerangan kehormatan dan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden yang berpotensi koruptif karena rawan kepentingan. Sebab, struktur Polri berada langsung di bawah Presiden sehingga akan mengalami konflik kepentingan.

Sementara itu, Direktur Akademi Anti Korupsi yang juga tergabung dalam IM57+ Institute, Budi Agung Nugroho menyoroti penyederhanaan jenis korupsi di KUHP yang baru. Dari sebelumnya tujuh jenis korupsi di UU Tindak Pidana Korupsi menjadi dua jenis korupsi di KUHP yakni korupsi merugikan keuangan negara dan suap.

“Kalau kita lihat statistik jenis korupsi merugikan keuangan negara dan suap merupakan modus yang paling sering ditindak,” ujar Budi Agung.

Budi juga menyebut ancaman hukuman orang yang merugikan keuangan negara menjadi berkurang dari paling singkat 4 tahun di UU Tipikor menjadi paling singkat dua tahun di Pasal 603 KUHP.

DPR dan pemerintah pada Selasa (6/12) mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyampaikan pengesahan tersebut telah disetujui seluruh fraksi di Komisi III DPR dan pemerintah. Ia juga mengklaim penyempurnaan RKUHP telah mengakomodir masukan dari masyarakat agar tidak ada kriminalisasi dan aparat penegak hukum tidak sewenang-wenang.

Terkait korupsi, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dalam wawancara bersama CNN Indonesia, Selasa (6/12), menyampaikan publik tidak adil dalam menilai pasal-pasal tentang korupsi. Ia beralasan publik hanya menyampaikan pasal di KUHP yang lebih rendah ancaman hukumannya dibandingkan UU Tipikor. Namun, publik tidak menyebutkan bahwa ada pasal tentang korupsi di RKUHP yang ancamannya lebih berat daripada UU Tipikor.

“Jadi kalau memahami betul konstruksi tindak pidana korupsi Pasal 602 dan Pasal 603 KUHP sebenarnya sama dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Cuma diubah. Kalau bagi kita orang pidana, bahwa pasal yang ancaman pidananya berat pasti lebih sulit pembuktiannya. Itu yang kita sempurnakan dalam konteks Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor,” jelas Hiariej. (log)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.