Manggarai, helloborneo.com – Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah kejahatan menonjol di Nusa Tenggara Timur (NTT). Baru-baru ini Polisi Resor Manggarai Barat berhasil mengamankan belasan korban yang di antaranya terdapat empat orang anak-anak.
Polisi Resor Manggarai Barat berhasil mengamankan 14 orang korban perdagangan orang (human trafficking), dan satu perekrut calon tenaga kerja pada Minggu, 11 Desember 2022. Mereka berhasil menggerebek sebuah rumah penampungan di Desa Wae Kelambu, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Rombongan tersebut rencananya akan menaiki kapal Niki Sae dari Labuan Bajo ke Surabaya, dan melanjutkan perjalanan melalui laut ke Pontianak.
Kasat Intelkam Polres Manggarai Barat, Iptu Markus Frederico Sega Wangge, mengatakan berdasarkan informasi awal, sejumlah orang itu akan dikirim ke Kalimantan Barat. Namun, seringkali tindakan ini mengarah ke tujuan selanjutnya, yaitu ke wilayah Malaysia.
“Jadi, kemungkinan bisa saja terjadi (ke Malaysia-red), karena rekrutmennya yang dari PT SMP yang ada di Sungai Laur, Ketapang, Kalimantan Barat, orang yang diminta itu hanya by phone, kemudian tidak ada surat jalan atau penunjukan dari perusahaan untuk rekrutmen tenaga kerja,” kata pria yang biasa dipanggil Iptu Ricko.
Dari PR selaku perekrut, diperoleh pengakuan bahwa dirinya diminta pihak lain di Kalimantan Barat untuk mencari calon tenaga kerja. PR kemudian mengumpulkan 14 warga, di mana empat di antaranya masih anak-anak yang siap diberangkatkan pada Senin (12/12) pukul 22.00 WITA. Empat anak ini masih berusia 8, 5 dan 4 tahun serta satu lagi baru berusia 9 bulan.
“Sehingga kita antipasi dengan melakukan pengamanan, untuk tindakan lebih lanjut. Ini tenaga kerja non-prosedural. Kemungkinan TPPO seperti itu sangat ada, karena memang sebelum-sebelumnya ada indikasi seperti ini. Jadi, ini lebih pada pencegahan,” tambah Iptu Ricko.
Dari interogasi polisi, diketahui PR pernah melakukan tindakan serupa pada Agustus lalu, dan memperoleh upah dari pemesan tenaga kerja di Kalimantan Barat.
Iptu Ricko mengatakan prosedur semacam ini mencurigakan karena perekrut adalah individu, dan bukan sebuah perusahaan. Tidak ada surat keterangan yang dikeluarkan sebuah perusahaan, terkait pekerjaan yang akan diberikan. Meski, kata dia lagi, perlu pembuktian lebih lanjut untuk menelusuri dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
“NTT ini lumbung buruh migran, non-prosedural. Buruh migran ini modus operandinya begitu. Sebelum ini, saya bertugas sebagai Kasat Intelkam di Polres Flores Timur, di Larantuka, memang menjadi tren bagi masyarkaat untuk bekerja di luar negeri, khususnya di Malaysia sebagai negara tujuan,” ungkap Iptu Ricko.
Sayangnya, para calon tenaga kerja ini tidak melengkapi diri dengan syarat administrasi yang cukup, misalnya paspor. Warga Flores Timur harus mengurus paspor ke kantor imigrasi terdekat, yang ada di Maumere di Kabupaten Sikka. Jarak yang begitu jauh, membuat biaya pengurusan paspor menjadi sangat mahal. Para pekerja migran, akhirnya lebih memilih langsung naik kapal menuju Kalimantan, dan melanjutkan perjalanan ke Malaysia, kata Iptu Ricko.
BLK dan LTSA Jadi Solusi
Lembaga hukum dan HAM, Padma (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian) Indonesia mengapresiasi kinerja kepolisian tersebut. Namun, Padma Indonesia meminta gubernur dan bupati/wali kota di seluruh NTT untuk segera menerbitkan peraturan lokal, terkait gugus tugas pencegahan.dan penanganan TPPO jika ingin maksimal dalam tindakan pencegahan. Pengimplementasian serius UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia juga dianggap sangat dibutuhkan.
Gabriel Goa, Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia menyebut UU 18/2017 mengamanatkan pendirian Balai Latihan Kerja (BLK) dan penyediaan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di setiap daerah.
“Mengapa alur dari BLK? Karena bisa tahu dia itu punya kompetensi atau enggak, jangan sampai dia tidak bisa bahasa Inggris, yang keduanya tidak bisa kerja. Maka dia dilatih dulu, baru dia ke Layanan Terpadu Satu Atap untuk mengurus dia punya legal formalnya,” kata Gabriel kepada VOA, Selasa (13/12).
Padma Indonesia sendiri adalah bagian dari Zero Human Trafficking Networkingdan Jaringan Nasional Anti-TPPO.
Gabrial menambahkan, skema ini mewajibkan, siapapun yang ingin bekerja di luar negeri sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) untuk menjalani pelatihan di BLK terlebih dahulu. Di setiap kabupaten harus ada BLK untuk mendekatkan layanan. Setelah lulus dari BLK, calon PMI mengurus seluruh syarat administrasinya di LTSA, yang juga harus ada di setiap kabupaten.
Seluruh calon PMI yang tidak melewati jalur BLK dan LTSA masuk dalam kategori non-prosedural. Sebaliknya, seluruh perusahaan penyalur PMI harus mencari calon tenaga kerja di LTSA, karena hanya di lembaga inilah nama setiap calon PMI yang sudah selesai mengurus syarat administrasi berada.
“Jadi ini pendekatan pelayanan sebenarnya. Kalau kita pergi ke imigrasi, itu kan bisa melayani siapa saja. Tapi kalau dia di LTSA, dia akan ketahuan ini dia pergi melancong atau pergi kerja. Karena harus ada job order-nya,” tambah Gabriel.
Gabriel merinci, di setiap LTSA harus ada perwakilan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Kesehatan, Kantor Imigrasi, Perwakilan BPJamsostek, perwakilan bank, dan pihak kepolisian. Setiap calon PMI yang dilayani di LTSA, sudah jelas legal dan memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri.
Pemerintah daerah di NTT, lanjut Gabriel, hanya perlu menyediakan ruangan atau gedung untuk keperluan ini, dan itu tidak harus gedung baru.
“Di Undang-Undang 18/2017 dan aturan turunannya, itu lengkap. Hanya tadi, mereka pemalas, maunya ada proyek, mereka mau kerjakan. Sedangkan begini kan pelayanan publik. Padahal kalau diatur, remitensinya yang masuk itu luar biasa dari PMI ini,” tambah Gabriel.
Jika layanan ini tidak disediakan pemerintah kabupaten, Gabriel menganggap wajar jika kasus PMI ilegal dan perdagangan orang terus terjadi.
“Kesalahan itu bukan ditimpakan kepada calon pekerja migran, atau yang mencari kerja. Kesalahan itu ada pada pemerintah, karena dia tidak hadir untuk melayani publik,” ujarnya.
Karena ketiadaan BLK dan LTSA, sampai saat ini pemerintah NTT tidak memiliki data berapa jumlah rakyatnya yang bekerja di luar daerah maupun di luar negeri. Gabriel bahkan mendesak pemerintah pusat untuk memberikan sanksi, misalnya dengan mengurangi Dana Alokasi ke daerah, jika pemerintah daerah tidak memenuhi amanat UU 18/2017 tentang perlindungan PMI.
“Kalau sudah satu pintu, tidak bisa lagi main di bawah meja atau jalan tikus. Karena semua itu terurus, dan orang yang pergi terdata semua,” tandasnya.
Dampak Tindak Pidana Perdagangan Orang di NTT sebenarnya luar biasa. Data Padma Indonesia menyebut tahun ini hingga Sabtu, 10 Desember 2022, jenazah PMI yang dipulangkan ke NTT berjumlah 99 orang. Dari Jumlah itu, hanya satu PMI yang berangkat sesuai prosedur. Selain itu, ada pula dua PMI yang meninggal akibat COVID-19 dan dikuburkan di Malaysia. Dengan demikian, total pada 2022 ini telah ada 101 PMI dari NTT yang meninggal, dan 100 di antaranya masuk dalam kategori korban perdagangan manusia. (voa/log)