Jakarta, helloborneo.com – Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN- RI) berharap pemerintah menemukan jalan agar bisa menetapkan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) 2023 yang lebih terjangkau.
BPKN RI menilai biaya yang disusulkan sebesar Rp 69,1 juta terbilang sangat mahal, mengingat negara kita masih terjebak sebagai middle income country atau negara berpendapat menengah selama 30 tahun dan juga ekonomi masyarakat yang masih berjuang di masa pandemi Covid-19
Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN RI Johan Efendi melihat walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat di tengah upaya menjaga momentum pemulihan ekonomi, hal tersebut tercermin seiring pulihnya mobilitas masyarakat akibat penanganan pandemi yang baik dan terkendali.
Johan mengingatkan bahwa wacana kenaikan biaya ibadah haji itu bisa memupuskan harapan banyak calon haji untuk pergi ke Tanah Suci. Karena itu pemerintah diminta untuk mempertimbangkan atas kenaikan biaya ongkos haji secara penuh tahun ini.
la menghimbau pembebanan BPIH harus mengedepankan prinsip keadilan. Untuk itu, pemerintah segera mengkaji BPIH secara tepat dalam rangka menyeimbangkan besaran beban jemaah dan keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan.
Apalagi, kata Johan, negara sudah memiliki Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang bertugas mengurus dana haji yang disetorkan masyarakat.
“BPKH dalam hal ini semoga dapat berperan maksimal dalam mengelola keuangan haji yang diamanahkan pada badan ini,” tegasnya.
Menurut Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN RI Firman Turmantara, penentuan kenaikan ongkos ibadah haji itu harus transparan, hal ini sesuai dengan hak konsumen yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen (UUPK) yaitu Pasal 4 yang diantaranya menyebutkan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, selain hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan.
Calon jamaah haji sebagai konsumen juga bisa meminta pertanggung jawaban penyelenggara ibadah haji sesuai dengan Bab VI UUPK tentang tanggungjawab pelaku usaha, dan penyelenggara ibadah haji bisa dipidana. (vide Pasal 19 ayat 4 dan Pasal 61 Jo. Pasal 62 UUPK).
Sementara pemerintah sendiri tidak bisa lepas dari tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan Pasal 29 dan Pasal 30 UUPK.
Selain itu, hubungan hukum antara penyelenggara ibadah haji dengan jamaah haji itu sesuai tidak dengan perundang-undangan yang lain seperti dengan. KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian.
“BPKN-RI menghimbau agar usulan kenaikan biaya haji masih dapat diturunkan. Caranya, dengan melakukan efesiensi penyisiran komponen-komponen biaya yang bisa dipangkas tanpa mengurangi dan berdampak pada kualitas pelayanan penyelenggaraan haji.” ujar Johan. (kmf/log)