Jakarta, helloborneo.com – Transparency International meluncurkan hasil Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) untuk tahun pengukuran 2022. Hasilnya Indonesia mengalami penurunan skor 4 poin dari tahun 2021 menjadi 34, dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Penurunan ini merupakan yang terburuk sepanjang era reformasi.
Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko mengatakan, skor dan peringkat ini menunjukkan tidak ada perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi.
“Skor ini turun 4 poin dari tahun 2021 atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995,” ujar Wawan di Jakarta.
Wawan menambahkan skor IPK Indonesia masih jauh di bawah rata-rata negara di Asia Pasifik yaitu 45. Adapun jika dibandingkan negara di ASEAN, Indonesia menduduki peringkat 7 dari 11 negara, jauh di bawah sejumlah negara tetangga. Antara lain Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam, dan Thailand.
“Ini menjadi kado bagi Indonesia karena tahun ini kita menjadi host bagi ASEAN,” tambahnya.
Ia menjelaskan setidaknya terdapat tiga indikator yang menjadi tantangan dalam pemberantasan korupsi. Antara lain kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan investasi, masih maraknya korupsi politik, dan penegakan hukum atas korupsi yang belum efektif.
Karena itu, TII merekomendasikan pemerintah, partai politik, dan penegak hukum lebih menjamin prinsip-prinsip anti-korupsi dalam kehidupan politik. Serta dapat membangun sistem anti-korupsi yang lebih konsisten dalam kebijakan ekonomi.
Sementara itu, secara global IKP Denmark dengan skor 90 menempati urutan puncak pada tahun ini, diikuti Finlandia dan Selandia Baru dengan skor keduanya 87. Sedangkan Sudan Selatan, Suriah, dan Somalia yang terlibat konflik berkepanjangan tetap berada di posisi bawah.
Hasil CPI 2022 ini juga mengungkapkan rata-rata global tetap stagnan pada skor 43 dari 100 untuk sebelas tahun berturut-turut. Lebih dari dua pertiga negara (122) terus menghadapi masalah korupsi yang serius, dengan skor di bawah 50.
Sementara itu, rerata Asia Pasifik masih stagnan dengan skor 45 selama empat tahun berturut-turut dimana lebih dari 70 persen negara berada di peringkat di bawah 50.
Respons KPK
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan pesimis skor IKP Indonesia dapat melampaui 40 jika tidak ada terobosan yang baru. Ia beralasan riset yang dilakukan TII sudah berlangsung bertahun-tahun. Ia mencontohkan terobosan yang dapat dilakukan yaitu dengan memperbaiki partai politik. Sebab, partai memiliki peran yang besar seperti penempatan pejabat dan penganggaran belanja negara.
“Kalau tidak ada terobosan saya percaya (baca: tidak naik skor), terutama birokrat harus ada komandannya dan semestinya tangan besi. Beri target, kalau tidak selesai ganti,” ujar Nainggolan.
Menurut Nainggolan, peran pemimpin dalam mencegah terjadinya korupsi penting. Sebab, pada umumnya terobosan untuk pencegahan korupsi tidak berjalan tanpa instruksi dari pemimpin.
Selain itu, ia menyarankan pemerintah memberikan renumerasi yang baik kepada aparatur sipil negara (ASN) dalam pencegahan korupsi. Utamanya aparatur di penegakan hukum dan pengawasan yang berhadapan dengan kasus-kasus korupsi.
“Kalau pemerintah tidak punya uang, pilih saja yang paling bahaya yaitu aparat penegak hukum dan pengawasan,” tambahnya. (voa/log)