Jakarta, helloborneo.com – Komnas Perempuan mendesak Dewan Pers agar segera mengeluarkan prosedur operasional standar (SOP) tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual untuk jurnalis perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, menilai sudah seharusnya Dewan Pers mengeluarkan prosedur operasional standar (SOP) tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan.
“Pasalnya kita tahu jurnalis perempuan memiliki kerentanan untuk mengalami tindakan kekerasan seksual,” katanya.
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2022, Komnas Perempuan menerima empat aduan kasus kekerasan seksual dan fisik yang menimpa jurnalis perempuan. Ironisnya, perlindungan maupun dukungan untuk jurnalis perempuan pada saat mengalami kekerasan seksual masih sangat minim.
“Bahkan perspektif publik yang sering sekali ketika narasumbernya diwawancarai itu juga berpeluang menjadikan jurnalis perempuan mengalami diskriminasi,” ujar Veryanto.
Kendati Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan, hingga saat ini belum ada jaminan perlindungan terhadap jurnalis perempuan ketika mengalami kekerasan seksual di lingkungan kerjanya. Menurut Veryanto, diperlukan kebijakan yang komprehensif untuk melindungi dan mendukung kerja-kerja jurnalis perempuan.
“Kita berharap bahwa upaya perlindungan termasuk pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan dapat segera diwujudkan oleh Dewan Pers. Pemerintah dalam hal ini DPR bisa membuat kebijakan khusus untuk memberikan dukungan kepada jurnalis perempuan. Supaya mereka terhindar dari kekerasan seksual maupun diskriminasi saat melaksanakan tugasnya sebagai jurnalis perempuan,” katanya.
Bukan hanya tentang pencegahan dan perlindungan jurnalis perempuan dari kekerasan seksual, Komnas Perempuan juga berharap isu kepemimpinan perempuan dipertimbangkan masuk ke dalam agenda perjuangan pers.
“Kita tahu bahwa media dan perempuan menjadi salah satu keprihatinan dalam The Beijing Platform for Action yang diharapkan bisa terealisasi di Indonesia. Karena itu Komnas Perempuan sangat mendukung upaya-upaya perlindungan terhadap jurnalis perempuan,” pungkas Veryanto.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengakui bahwa saat ini pihaknya belum memiliki SOP terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan.
“Bagaimana kita mau bilang kantor-kantor media buat SOP, saya sendiri enggak bisa teriak karena Dewan Pers belum punya SOP itu. Ini juga menjadi tantangan kami untuk segera menyusun SOP bagaimana upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual kalau itu terjadi di lembaga-lembaga media,” katanya di Medan.
Kendati demikian, Dewan Pers tetap mengimbau agar perusahaan media memfasilitasi adanya SOP tentang upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan.
“Kalau itu terjadi, perusahaan media di mana jurnalis bekerja harus memastikan ada perlindungan kepada mereka,” ucapnya.
Pada tahun 2021 Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) pernah meluncurkan hasil survei nasional yang dilakukan pada Agustus-September terkait kekerasan terhadap jurnalis perempuan di Indonesia.
Survei itu dilakukan terhadap 1.256 jurnalis perempuan yang menjadi responden. Hasilnya, sebanyak 1.077 responden atau 85,7 persen jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka, baik di ranah digital maupun ranah fisik. Kekerasan yang dialami jurnalis perempuan juga beragam mulai dari komentar yang melecehkan fisik mereka (body shaming), ancaman atau pelecehan lisan, hingga serangan fisik yang bersifat seksual. (voa/log)