Jakarta, helloborneo.com – Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 15-16 Februari 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI Seven Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), yang biasa disebut suku bunga acuan, pada angka 5,75 persen. Bank sentral itu juga mempertahankan suku bunga deposit facility pada level 5 persen, dan suku bunga lending facility pada level 6,5 persen.
“Keputusan ini tetap konsisten dengan kebijakan moneter yang preemptive, dan forward looking, untuk memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi ke depan. BI meyakini bahwa BI Seven Days Reverse Repo Rate sebesar 5,75 persen memadai untuk memastikan inflasi inti tetap berada dalam kisaran tiga plus minus satu persen, pada semester-I 2023 dan inflasi indeks harga konsumen kembali ke dalam sasaran tiga plus minus satu persen pada semester-II 2023,” ungkap Perry dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Selain itu, menurutnya, kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah untuk mengendalikan inflasi barang impor juga akan terus diperkuat dengan pengelolaan devisa hasil ekspor melalui implementasi moneter valas.
“Sehubungan dengan itu, BI terus memperkuat respon bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonom dengan diantaranya memperkuat operasi moneter untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter,” tuturnya.
Sesuai Prediksi
Ekonom INDEF Eko listyanto mengungkapkan kebijakan BI untuk mempertahankan suku bunga acuan tersebut sesuai dengan prediksi. Pasalnya, berbagai indikator perekonomian baik global maupun nasional, mendukung BI untuk mengambil sikap itu.
Eko menjelaskan, apabila BI terus menaikkan suku bunga acuannya, pemulihan sektor rill pasca COVID-19 akan semakin terhambat. Lebih jauh Eko menuturkan, meskipun perkiraan ekonomi global cenderung membaik, kebijakan moneter di beberapa negara, seperti AS, kondisi geo politik Rusia-Ukraina perlu diwaspadai. .
“Sinyal global yang lebih baik karena China kebijakan COVID-19 yang lebih longgar dipercepat dari rencana semula, dan itu mendorong permintaan global. Tapi yang harus diingat juga adalah geo politik Rusia-Ukraina yang masih panas. Beberapa kebijakan terakhir Rusia kayak mau ada balas dendam, seperti mengurangi pasokan minyak. Itu kan nanti bisa mengerek lagi harga energi karena Rusia itu penyuplai besar minyak global. Kalau dia mencoba untuk mengurangi suplai minyak artinya harga akan naik,” ungkap Eko kepada VOA.
Indikator lain yang menurutnya membuat BI mempertahankan suku bunga acuannya adalah nilai tukar rupiah yang stabil dan bahkan cenderung menguat dalam beberapa waktu terakhir ini.
“Keberanian untuk mempertahankan (suku bunga acuan) karena nil tukar rupiah relatif stabil pada awal tahun, bahkan cenderung menguat,” tutur Eko.
Hal senada juga diutarakan oleh ekonom CELIOS Bhima Yudhistira. Ia mengatakan, sikap BI mempertahankan suku bunga acuan dikarenakan surplus perdagangan yang turun namun tidak terlalu signifikan pada angka di atas USD3 miliar, dan situasi inflasi yang cenderung mereda di China dan Amerika Serikat.
“Efek kenaikan suku bunga yang terakumulasi sejak 2022 mulai berdampak pada penyaluran kredit, lembaga pembiayaan dan sektor properti yang belum pulih dari pandemi. Kalau BI terus agresif, i a sektor riil akan terimbas dan akan tertahan. Maka kebijakan BI cenderung tidak mengambil stance yang agresif,” kata Bhima kepada VOA.
Menjelang ramadan dan lebaran nanti, Bhima memperkirakan, BI akan kembali menaikkan suku bunga acuannya untuk meredam inflasi.
“Tujuannya adalah untuk mengendalikan tingkat inflasi domestik. Kenaikannya sekitar 25 hingga50 bps. Mungkin dalam dua bulan akan ada dua kenaikan, pada Maret dan April,” tambahnya.
BI berupaya mengembalikan inflasi ke dalam kisaran target dua persen hingga empat persen pada paruh kedua tahun ini dan inflasi inti untuk tetap berada dalam kisaran yang sama sepanjang tahun ini.
Sejumlah ekonom meragukan target itu akan terwujud. Perbedaan suku bunga acuan dengan Bank Sentral AS, dan kemungkinan gejolak harga domestik, adalah dua dari sejumlah faktor yang bukan tidak mungkin akan ikut mendorong kenaikan suku bunga acuan.
Bank Indonesia juga merevisi prospek pertumbuhan ekonominya. BI menempatkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun ini ke ujung atas kisaran 4,5 persen hingga 5,3 persen, atau sekitar 5,1 persen, bukan di titik tengah, setelah data bulan ini menunjukkan ekonomi terbesar di Asia Tenggara itu berkembang dengan laju tercepat dalam sembilan tahun, yakni sebesar 5,3 persen pada tahun 2022.
Warjiyo mengaitkan revisi tersebut dengan China, mitra dagang terbesar Indonesia yang menghapus kebijakan nol-COVID, yang dapat mendorong ekspor, dan meningkatkan konsumsi swasta. (voa/log)