Jakarta, helloborneo.com – Mimpi pendidikan gratis belum terwujud hingga saat ini, karena pemerintah lebih senang membuang uang untuk perjalanan dinas dan diskusi, dibanding mengongkosi rakyatnya sekolah.
Seorang siswa di SMKN I Katibung, Lampung, berinisial ADA, terpaksa berhenti sekolah pekan ini. Guru di sekolah itu merundung, dengan menyebutnya sebagai parasit, karena orang tua ADA tak mampu membayar biaya sekolah.
Apa yang dialami oleh ADA hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang terus berulang, di mana rakyat miskin tidak mampu menikmati haknya di bidang pendidikan.
Pejabat Direktorat Korsup Wilayah III Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Raden Roro Suryawulan, memiliki cerita serupa yang menggambarkan buruknya situasi pendidikan bagi para siswa yang mengalami kesulitan ekonomi.
“Di Muaro Jambi, ada beberapa siswa yang diduga dipaksa untuk mengikuti ujian semester ganjil di luar kelas, karena gara-gara tidak membayar iuran, tidak membayar pungutan-pungutan. Masa ujian semesteran seperti itu harus diluar,” kata Wulan, dalam diskusi terkait pungutan sekolah, yang diselenggarakan Kantor Perwakilan Ombudsman DI Yogyakarta.
Kisah siswa yang tidak boleh sekolah, tidak menerima ijazah, diperlakukan tidak adil di sekolah, hingga putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya, menjadi kisah klasik yang terus terulang di berbagai daerah di Indonesia.
Padahal, pendidikan menjadi tanggung jawab negara sesuai UUD 1945. Selain itu, pasal 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan, pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Sementara dalam Peraturan Pemerintah 18/2022, pasal 80 dan 81 menegaskan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah membiayai pendidikan dengan alokasi anggaran 20 persen dari APBN atau APBD.
Kota Pendidikan Tak Mampu
Yogyakarta yang memproklamirkan diri sebagai kota pendidikan, ternyata juga tidak mampu memenuhi kewajiban menyelenggarakan wajib belajar tanpa biaya. Dalam praktiknya, sekolah negeri memang tidak mewajibkan orang tua membayar biaya pendidikan. Tetapi, sekolah membuka sejumlah jalur pungutan yang disebut sebagai sumbangan orang tua.
R Suci Rohmadi, pejabat di Dinas Pendidikan dan Olahraga, provinsi DI Yogyakarta menyebut, pihaknya sudah menetapkan biaya operasional satuan pendidikan melalui keputusan gubernur. Biaya ini bisa disebut sebagai unit cost atau biaya yang dibutuhkan seorang siswa selama satu tahun ketika mengenyam pendidikan.
Rohmadi merinci, unit cost untuk siswa SMK Teknik adalah Rp5,5 juta, SMK non Teknik Rp5,1 juta, SMA IPA Rp4,9 juta dan SMA IPS Rp4,8 juta. Dari sejumlah itu, dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pusat hanya sekitar Rp 1,6 untuk SMK dan Rp1,5 untuk SMA.
“Di APBD sekolah negeri, kita tahun ini hanya mampu untuk SMA negeri kita memberikan Rp1,5 juta, kemudian untuk SMK Rp2 juta per anak,” kata Rohmadi.
Gabungan dana BOS dan alokasi APBD yang hanya berjumlah sekitar Rp3,5 juta untuk masing-masing siswa, masih belum cukup untuk menutupi seluruh jumlah biaya yang dibutuhkan. Kekurangan tersebut, kata Rohmadi, bisa datang dari pihak orang tua. Jika dihitung setiap bulan, orang tua siswa harus membayar dalam rentang antara Rp120 ribu hingga Rp150 ribu tergantung jenis sekolahnya.
KPK: Kurangi Rapat
Namun, KPK meragukan ketidakmampuan daerah untuk membiayai sektor pendidikan. Raden Roro Suryawulan mengingatkan, presiden hingga menteri PAN RB sudah mengingatkan soal pemakaian anggaran yang dinilai tidak tepat.
“Ini misalnya, perjalanan dinas dari Pemda agak dikurangi, dihemat, terus kemudian biaya rapat-rapat, biaya pertemuan-pertemuan, terus untuk FGD-FGD sebaiknya kalau yang tidak perlu, bisa dihemat,” kata Wulan.
Bidang Penindakan KPK kemudian menyarankan, dana-dana yang bisa dihemat dari pos pengeluaran yang tidak perlu itu, dapat dialihkan ke sektor pendidikan. Meskipun aturan menyebut, bahwa pemerintah mengalokasikan 20 anggaran untuk pendidikan, tetapi itu adalah angka minimal. Artinya, alokasi bisa melebihi jumlah itu.
KPK juga mengingatkan agar daerah tidak menyusun aturan lokal terkait sumbangan pendidikan. Provinsi Jawa Barat, yang telah memiliki aturan semacam ini, terbukti justru mengalami banyak kasus penyelewengan.
“Karena yang dimaksud sumbangan, mereka tidak terlalu memahaminya. Sumbangan, bantuan, pungutan, tidak bisa membedakan. Semua diratakan, pokoknya kalau tidak membayar, mereka (siswa-red) tidak boleh mendapatkan hak-haknya,” beber Wulan.
Dasar Perhitungan Dipertanyakan
Kepala Ombudsman RI, DI Yogyakarta, Budhi Masthuri menyebutkan bahwa pemerintah daerah perlu membuka formula yang dipakai untuk menghitung unit cost seperti yang sudah dipaparkan.
“Agar publik bisa ikut mengkritisi dan memberi masukan. Apakah jumlah unit cost yang dihitung pemerintah daerah memang sesuai kebutuhan? Atau bisa juga sebenarnya melebihi? Formula hitung-hitungan dan komponen unit cost biaya pendidikan per siswa ini perlu diuji secara publik,” tegasnya.
Ombudsman juga telah melakukan kajian, dimana pungutan dari sekolah dilakukan tidak semata karena kurangnya dana BOS dari pusat. Buktinya, kata Budhi, setiap tahun dana BOS itu memiliki sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa).
“Motivasi terbesar sekolah melakukan pungutan, karena soal fleksibilitas penggunaan dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran,” tambah Budhi.
Pertanggungjawaban dana BOS dan cakupan penggunaannya sangat kaku dan membatasi ruang gerak sekolah dalam melakukan inovasi pembiayaan. Sementara uang dari hasil pungutan lebih leluasa digunakan, termasuk ketidaktransparan dalam penggunaannya.
Selain sumbangan sekolah, Ombudsman juga menerima laporan orang tua siswa terkait penjualan seragam oleh sekolah dan kewajiban mengikuti wisata sekolah.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa membeli kain seragam di sekolah selalu lebih mahal dibandingkan membelinya di toko untuk jenis dan kualitas yang sama. Ombudsman DI Yogyakarta telah melakukan studi terkait ini, dan menemukan fakta bahwa sekolah memiliki margin keuntungan 25 persen hingga 100 persen dalam bisnis seragam siswa. Jika dikalkulasi, untuk seluruh Yogyakarta, dana yang bisa dikumpulkan dari margin penjualan seragam oleh pihak sekolah ini bisa mencapai Rp10 miliar dalam satu tahun.
Ombudsman yakin, pemerintah daerah sebenarnya mampu membiayai pendidikan untuk rakyat. Dalam kasus DI Yogyakarta, keyakinan itu bahkan berlipat karena daerah ini menerima Dana Keistimewaan dari pemerintah pusat, terkait statusnya sebagai daerah istimewa.
Pendidikan Sebagai Hak Publik
Pakar hukum dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dr Riawan Tjandra mengatakan, negara menempatkan pendidikan dalam posisi yang berbeda. Ada yang memasukkannya di domain publik, ada pula yang mengkategorikannya dalam domain privat.
Indonesia, kata Riawan, memastikan posisi pendidikan ini dalam Pasal 31 UUD 1945.
“Pendidikan itu menjadi hak setiap warga negara. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dari istilah ini, kita bisa melihat bahwa filosofinya, pendidikan itu adalah public goods,” ujar Riawan.
Jelas sekali, kata Riawan, bahwa konstitusi menempatkan pendidikan di Indonesia sebagai domain publik. Lebih jauh, ada sejumlah konsekuensi dari posisi ini.
“Pertama, siapapun bisa mengaksesnya dengan mudah. Tidak perlu ada kompetisi untuk mendapatkanya. Kedua, tidak boleh dihalangi, siapapun bisa menikmatinya dengan kemudahan dan tidak perlu ada hambatan,” tambahnya.
Secara umum, kata Riawan, negara berkembang memang membelanjakan lebih sedikit dana dalam sektor pendidikan dibanding negara maju. Namun dia meyakini, dengan ketentuan anggaran 20 persen dari APBN dan APBD, sebenarnya anggaran Indonesia di sektor ini cukup besar.
“Sejauh ada konsistensi dalam implementasinya,” tegasnya. (voa/log)