Thohiron Soroti HPP Gabah Rp6.500, Dorong Pemerintah Pikirkan Solusi Jangka Panjang untuk Petani

Edy Suratman Yulianto

Anggota DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Thohiron. (Ist)
Anggota DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Thohiron. (Ist)

Penajam, helloborneo.com – Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) sebesar Rp6.500 per kilogram menuai perhatian dari Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Thohiron. Ia menyatakan keprihatinannya terhadap efektivitas kebijakan tersebut dalam menjawab persoalan mendasar yang dihadapi petani lokal.

“Kita lihat saja sistem ini bisa bertahan berapa lama. Apakah kebijakan ini hanya sekadar meredam apatisme masyarakat supaya kembali bertani?” ujar Thohiron saat diwawancarai.

Menurutnya, penetapan HPP memang memberikan harapan baru bagi petani. Namun, bila tidak dibarengi dengan pendekatan menyeluruh terhadap sektor pertanian, dampaknya tidak akan terasa signifikan, mengingat siklus tanam padi di Kabupaten PPU yang hanya satu hingga dua kali dalam setahun.

“Kalau hanya fokus ke harga gabah, ya tidak terlalu terasa juga. Petani kita hanya menanam satu atau dua kali setahun, itu pun sangat tergantung cuaca dan irigasi,” jelasnya.

Thohiron juga mengingatkan pentingnya jaminan harga untuk komoditas alternatif yang biasa ditanam petani pasca panen padi, seperti jagung dan kacang-kacangan. Menurutnya, tanpa dukungan terhadap komoditas lain, petani tetap akan mengalami kesulitan ekonomi di luar musim panen padi.

“Jangan hanya gabah. Pemerintah juga harus pikirkan harga tanaman lain pasca panen. Kalau cuma padi yang diperhatikan, pertanian tidak berjalan optimal,” katanya.

Ia mendorong pemerintah untuk tidak sekadar menetapkan harga beli, tapi juga meningkatkan kualitas produksi petani dengan memperbaiki sistem irigasi, penyediaan pupuk tepat waktu, serta pelatihan pertanian berbasis teknologi. Selain itu, ia mengusulkan agar petani diberi akses terhadap subsidi alat pertanian modern dan pendampingan hasil panen.

“Kalau memang mau swasembada pangan, kita harus punya pendekatan komprehensif. Mulai dari lahan, air, alat, sampai pasar. Jangan setengah-setengah,” tegas Thohiron.

Terkait kebijakan HPP Rp6.500 per kg, ia juga menyoroti kriteria kualitas gabah yang menjadi penentu diterimanya gabah oleh Bulog. Menurutnya, hal ini bisa jadi jebakan jika petani tidak mendapatkan harga sesuai karena hasil panennya dianggap tidak memenuhi standar kualitas.

“Kalau kualitasnya tidak sesuai, harga Rp6.500 itu tidak berlaku. Jangan sampai petani rugi, dan ujung-ujungnya Bulog lagi yang disubsidi,” tuturnya.

Sebagai solusi, ia menyarankan adanya penyesuaian standar kualitas gabah berdasarkan kondisi wilayah, termasuk memperhatikan kondisi tanah dan cuaca di Kabupaten PPU yang cenderung berbeda dengan wilayah pertanian lainnya di Indonesia.

“Standar kualitas gabah harus realistis. Jangan disamakan antara PPU dengan Jawa yang punya irigasi bagus. Kita masih tadah hujan,” imbuhnya.

Thohiron menutup pernyataannya dengan harapan agar kebijakan pangan ke depan benar-benar berpihak kepada petani dan berkelanjutan, tidak hanya menjadi langkah jangka pendek.

“Setidaknya ini sudah memberi secercah harapan. Tapi jangan berhenti di harga gabah saja. Kita harus jaga semangat petani, karena mereka ujung tombak ketahanan pangan kita,” pungkasnya. (adv/log)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses