Bagus Purwa
Penajam, helloborneo.com – Awalnya nyamuk “Aedes Aegypti” hanya suka bersarang di air yang bersih, virus dengue yang menyebabkan penyakit demam berdarah, dulunya juga hanya ada pada nyamuk dewasa. Tapi kini nyamuk itu sudah berevolusi sehingga lebih berbahaya.
Setiap binatang atau serangga bahkan virus yang mengalami evolusi, pasti diikuti dengan perubahan pola hidup secara fisik dan psikis, bahkan secara biologis sehingga para ilmuwan selalu ketinggalan satu langkah di belakang dalam mengatasinya.
Dulunya nyamuk ini hanya dapat berkembang biak di penampungan air seperti bak mandi, tidak ditemukan dalam genangan air di tanah, namun sekarang sudah mengalami perubahan karena sudah mampu berkembang di air yang langsung menyentuh tanah
Saat ini, menurut Kepala Seksi Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Eka Wardhana, memasuki muism penghujan sehingga masyarakat diminta wasapada terhadap penularan virus Dengue oleh nyamuk.
Curah hujan akan menyebabkan adanya genangan air di sejumlah tempat di sekitar rumah. Dimana Genangan air tersebut dapat menjadi tempat berkembangnya nyamuk “Aedes Aegypti” atau “Aedes Albopictus”.
Selain itu, nyamuk tersebut juga akan berkembang ke dalam rumah, yakni bersarang di sejumlah tempat penampungan air, baik di bak kamar mandi, gentong, dan gudang yang berisi perkakas rumah tangga serta mainan dengan kondisi lembab.
Evolusi yang dialami “Aedes Aegypti” saat ini adalah, jentiknya tidak hanya hidup di air yang bersih dan tidak langsung berhubungan dengan tanah, tetapi juga dapat hidup di genangan air kotor.
Selain itu, jentk nyamuk “Aedes Aegypti” sudah resisten atau kebal terhadap abate, sehingga jentik-jentik nyamuk itu tidak mati bila hanya dibasmi dengan abate, sehingga perlu dilakukan pola khusus dalam memutus mata rantai perkembangannya.
Di dunia, penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada 1953, sejak saat itu virus yang kini memiliki “gaya hidup” berbeda karena berevolusi tersebut terus mengalami penyebaran ke sejumlah negara di Asia.
Virus dan nyamuk “Aedes Aegypti” yang menyebarkan penyakit ini pada umumnya lebih suka berkembang di Asia karena memiliki iklim tropis.
Hal ini dilakukan “Aedes Aegypti” untuk menghangatkan tubuhnya yang kecil agar mampu bertahan hidup di kawasan yang lebih banyak sinar mataharinya, walaupun dia suka bersarang dan memperbanyak jentik di tempat yang lembab.
Terkait dengan “pola” dan “gaya hidup” virus dan nyamuk yang telah mengalami perubahan tersebut, maka pemberian abate yang dulu masih tergolong obat manjur untuk membunuh jentik nyamuk, kini cara itu hanya “ditertawakan” “Aedes Aegypti” karena banyak jentik “Aedes Aegypti” sudah kebal terhadap abate.
Bahkan dari hasil penelitian potensi penularan DBD oleh Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ditemukan telur dan larva nyamuk “Aedes Aegypti” telah mengandung virus dengue penyebab DBD.
Padahal sebelumnya virus ini hanya ditemukan dari dalam tubuh nyamuk dewasa saja, sehingga saat ini tanpa menggigit manusia pun, nyamuk “Aedes Aegypti” akan bertelur dan menjadi larva yang sudah terjangkiti DBD.
Terkait dengan itu, maka masyarakat diminta mencegah dan memutus rantai berkembangnya nyamuk mematikan tersebut, sedangkan cara yang efektif, aman dan murah adalah dengan melakukan 3M Plus.
Gerakan 3M Plus adalah, mengubur, menutup dan membersihkan tempat-tempat yang menjadi genangan air, serta ikanisasi di bak-bak penampungan air baik di luar ruangan maupun di dalam rumah, sehingga tidak ada kesempatan bagi nyamuk untuk bertelur.
Gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan demam tinggi mendadak 2-7 hari (38-40 derajat Celsius), otot nyeri, manifestasi pendarahan dengan bentuk uji tourniquet positif puspura pendarahan, konjungtiva, epitaksis, dan melena.
Penderita yang terserang DBD akan mengalami tiga fase. Pertama adalah demam selama tiga hari pertama. Berlanjut pada tiga hari selanjutnya yang merupakan fase kritis. Pada fase ini, demam sudah tidak terjadi, namun di fase inilah harus waspada agar tidak terkecoh dengan menganggap sudah sembuh dan tidak diberi pengobatan. Tiga hari selanjutnya adalah fase penyembuhan.
Selama ini banyak orang yang menganggap bahwa demam yang dialami, yang kemungkinan terjangkit DBD sebagai demam biasa, sehingga dianggap ringan dan tidak mendapat perawatan khusus. Apalagi pada fase kedua, biasanya demam sudah turun sehingga dianggap sudah sembuh.
“Padahal, jika orang yang terkena DBD dan telah mengalami panas selama lima hari kemudian baru dibawah ke rumah sakit, maka cara ini dianggap sudah terlambat sehingga kecil harapan bagi pasien untuk sembuh.” kata Eka Wardhana.
Menurut Eka Wardhana, kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjalankan pola hidup bersih dan sehat menjadi salah satu penyebab banyaknya sarang nyamuk yang ditemukan di berbagai titik, sehingga penyebaran penyakit DBD di Kabupaten Penajam Paser Utara cukup tinggi.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan, kasus DBD yang terjadi di Kabupaten Penajam Paser Utara, pada 2015 mencapai 183 penderita, tetapi tidak sampai ada korban meninggal dunia.
Angka itu meningkat 84 kasus DBD atau 100 persen dibanding 2014 yang hanya 99 kasus DBD dan tidak ada penderita yang meninggal dunia.
Sedangkan sepanjang Januari 2016, Dinas Kesehatan Kabupaten Penajam Paser Utara mencatat, telah menemukan sedikitnya 14 warga terserang penyakit demam berdarah dengue atau DBD.
“Kami temukan tujuh warga Penajam terserang DBD, di Petung ditemukan 5 warga tekena DBD dan masing-masimg satui kasus DBD ditemukan di Gunung Intan dan Kelurahan Sotek,” jelas Eka Wardhana.
Tiga dari 14 orang yang terserang DBD harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Penajam, karena mengalami penurunan “trombosit” atau keping darah.
“Kami minta masyarakat agar terus waspada terhadap penyakit DBD, apalagi evolusi telah dialami oleh nyamuk dan virusnya,” kata Eka Wardhana. (bp/rol)