Oleh: F.F Sanses, S.H.
Bengkulu, helloborneo.com – Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai satu-satunya sistem nilai yang diakui secara universal dalam hukum Internasional terdiri dari elemen liberalisme, demokrasi, partisipasi populer, keadilan sosial, berkuasanya hukum (rule of law) dan good governence.
Konsep liberalisme menekankan bahwa manusia bebas memilih tindakan mereka yang selanjutnya membentuk inti (nukleus) yang mendasari pembentukan hak-hak lainnya seperti hak kebebasan, hak kesetaraan, hak politik, hak kehidupan ekonomi, hak kolektif dan hak prosedural.
Abad pencerahan telah berhasil menelurkan konsep hak, kebebasan dan kesetaraan. Manusia pada abad itu berhasil dibebaskan dari pandangan mainstream dunia yang hanya menekankan pada kewajiban belaka. Manusia telah bertransformasi kedudukannya dari yang terbatas sebagai obyek hukum menjadi subyek hukum, beralih dari kehidupan yang pasrah/menyerah terhadap satu kekuatan entitas politik terbesar di muka bumi yang disebut Negara.
Sebagai suatu sistem nilai yang universal dan mengikat, HAM memiliki suatu konsekuensi yakni berkewajibannya negara-negara di dunia untuk mengelaborasikan konsep HAM yang universal menjadi norma-norma hukum yang lebih teknis dalam rangka penghormatan dan perlindungan hak asasi. Salah-satu hak asasi itu adalah kebebasan memeluk agama.
Kebebasan beragama merupakan hak fundamental yang pertama kali dirumuskan, ditetapkan sebagai tanggapan terhadap pengaruh kuat gereja katolik di Eropa dan perang agama serta tekanan-tekanan Pemerintah yang merupakan hasil provokasi yang dilakukan gereja (cuisi regio eius ci relegio).
Agama bukan hanya suatu kepercayaan, agama dapat juga diartikan sebagai sistem norma bagi pemeluknya yang dinsyafi dan dihayati yang berujung pada proses penaatan norma pada agama itu sendiri. Pada sisi lain agama secara abstrak dapat diartikan suatu kajian metafisik, bahkan secara fundamental, agama juga dapat diartikan sebagai suatu ideologi.
Kebebasan Beragama dan Diskriminasi Administrasi Kependudukan di Indonesia
Penjaminan kebebasan memeluk agama di Indonesia diatur secara komprehensif melalui beberapa produk peraturan perundang-undangan. Mulai dari tingkat yang paling tinggi yakni Legal Fundamentalis (Konstitusi) hingga peraturan setingkat Undang-undang, baik yang berasal dari dan atas inisiatif dari bangsa sendiri maupun bentuk tanggung jawab hukum sebagai negara peserta (state party) dari beberapa Konvensi.
Kedudukan agama di Indonesia memiliki kekhasan dengan keberadaannya yang jamak. Sehingga Pemerintah perlu mengatur kejamakkan agama tersebut melalui regulasi yang memberikan kepastian hukum dan keteraturan. Pengaturan tersebut dimanifestasikan dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pada penjelasan Undang-undang tersebut disebutkan terdapat 6 (enam) agama yang diakui di Indonesia yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong cu (Confusius).
Terma agama terbilang unik, karena banyak negara mewajibkan pencantuman agama yang dianut individu dalam form-form administrasi kependudukannya. Mulai dari negara yang memopulerkan HAM (Amerika) hingga negara dunia ketiga seperti Indonesia. Di Indonesia, pencantuman agama tidak pernah alfa dalam setiap form administrasi kependudukan. Terbiasa bagi mereka yang agamanya diakui, namun pahit berkelanjutan bagi mereka yang agama dan kepercayaan mereka yang tak diakui negara.
Tentunya hal tersebut menyusahkan mereka dalam mengurus banyak hal seperti akta kelahiran, surat nikah, pengurusan perihal kematian dan tak terkecuali kartu tanda penduduk (KTP).
Disemininasi HAM dalam Administrasi Kependudukan
Sunda Wiwitan di Cigugur, komunitas Kaharingan di Kalimantan, komunitas Parmalim di Sumatera Utara, Agama Adam di Pati, Komunitas Tolotang, komunitas penghayat Kejawen dan lain-lain adalah sederet contoh komunitas minoritas yang tidak dapat melengkapi syarat administrasi kependudukan hanya karena kepercayaan dan agamanya tidak diakui oleh negara.
Indonesia sebagai negara yang mengakui dan sedang terus berusaha menghormati dan melindungi hak asasi warga negaranya terus melakukan diseminasi dan meng-HAM-kan setiap sektor kehidupan bermasyarakat.
Melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, kelompok minoritas di atas dapat tetap dilayani dan dicatat dalam database administrasi kependudukan.
Berdasarkan Pasal 64 ayat (5), terhadap penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan, elemen data penduduk tentang agama dapat tidak diisi pada dokumen kependudukan khususnya KTP elektronik. Sehingga, tiada hambatan bagi setiap penduduk untuk melengkapi dokumen kependudukannya.
Hal tersebut merupakan langkah progresif Pemerintah dalam menyelenggarakan perlindungan dan penghormatan HAM warga negaranya. Walaupun, jika dikaji lebih mendalam tidak diiisinya kolom agama pada kartu tanda penduduk bagi penduduk yang agama atau kepercayaannya yang belum diakui oleh negara adalah bentuk nyata diskriminasi administrasi kependudukan.
Karena negara kita adalah negara eufimis, mungkin sebaiknya “diskriminasi” tersebut harus kita maknai sebagai bentuk kebijaksanaan Pemerintah terhadap kelompok minoritas agar tidak mengalami kesulitan dalam melengkapi dokumen kependudukan atau tidak memaksa mereka untuk berbohong perihal agamanya yang dipeluknya di hadapan negara.
Ketiadaan Peraturan Pelaksanaan dan Berpotensi Menyuburkan Atheisme secara Legal
Diperkenankannya oleh negara untuk mengosongkan kolom agama pada KTP bagi penduduk yang agama dan kepercayaannya yang belum diakui oleh negara ternyata masih terdapat hambatan. Hambatan tersebut berupa ketiadaan peraturan pelaksanaan yang mengatur kriterium agama dan kepercayaan apa saja yang diakui untuk belum diakui di Indonesia.
Contoh kasusnya, dapatkah seorang penduduk datang ke kantor pemerintahan untuk meminta dilayani dan dicatatkan pada administrasi kependudukan yang menamakan agamanya “Teknologi” atau “Sepak bola” atau “Partai”. Sedangkan, ia (penduduk) dapat secara rinci menjelaskan siapa nama Tuhannya, bagaimana ajarannya, apa nama alkitabnya dan sebaran pemeluknya. Penulis mengemukakan hal di atas bukan sebagai lelucoan yang ditujukan untuk melecehkan agama, negara, apalagi Tuhan.
Ketidakjelasan regulasi karena ketiadaan peraturan pelaksanaan yang mengatur dan menjabarkan substansi dari materi UU Administrasi Kependudukan yang sangat umum dapat menimbulkan kerawanan dalam penerapannya. Bahkan terdapat potensi penyuburan faham atheis dengan menggunakan instrumen yang legal.
Mengingat negara ini dibentuk berdasarkan by law dan by constitution maka hendaknya Pemerintah membentuk peraturan pelaksanaan. Sehingga dalam aspek substansi hukum (legal substance) tidak terdapat celah yang digunakan sebagai sarana yang legal untuk menyuburkan atheisme. Apalagi mengingat Indonesia adalah negara yang berketuhanan.
Konsep keseimbangan dalam ber-HAM di Indonesia telah diatur secara jelas pada Konstitusi, negara wajib menghormati dan melindungi hak asasi warga negaranya. Di sisi lain warga negara harus menundukkan diri pada pembatasan oleh Undang-undang. Dengan demikian, dapatlah dimaknai prinsip penghormatan hak asasi dan kesetaraan di depan hukum (equality before the law) bukan hanya redaksi pemanis dalam konstitusi dan bukan pula alibi untuk latah dan bebas berekspresi dengan kata “asasi”. (rol)
*Penulis adalah fasilitator Workshop Mitigasi Bencana Mahupala FH Universitas Bengkulu.
Daftar Referensi:
Buku:
Idrus Affandi, Karim Suryadi, Hak Asasi Manusia (HAM), Penerbit: Universitas Terbuka, Jakarta, 2007.
Kansil, C. S.T, Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Penerbit: Karya Unipers, Jakarta, 2003.
Manfred Nowak, Pengantar Rezim HAM Internasional, Penerbit: Briil Academic Publisher, 2003.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan