Permintaan Hasil Olahan Jahe Meningkat, Dinas Pertanian Kukar Ajukan Tambahan Anggaran Sapras

Foto Ketua Kelompok Wanita Tani Maju (KWT) di kampung Kamal, Siti Aisyah.

Kutai Kartanegara, helloborneo.com – Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kutai Kartanegara tengah mengajukan penambahan anggaran untuk membangun sarana dan prasarana tanaman jahe, terutama untuk pengembangan hasil olahan jahe.

Menurut keterangan Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kutai Kartanegara Sutikno tantangan yang dihadapi petani jahe adalah bibit yang mahal harga bibit yang masih mahal dengan harga Rp30 ribu perkilogram.

“Kami sedang menyusun proposal, supaya ada bantuan tambahan yang lebih dari pusat. Salah satunya di desa Margahayu akses jalan menjadi kendala utama, hasil panen jahe harus dipikul jalan kaki dari titik tanam sampe 50 meter, baru naik motor terus ke jalan poros pake mobil. Sarana prasarananya kita minta tambah ke pusat kuota,” tambahnya.

Inovasi petani jahe dalam mengembangkan tanaman jahe menjadi produk olahan tanaman jahe juga tumbuh di kecamatan lainnya seperti di kecamatan Samboja tepatnya di kampung Kamal kelurahan Senipah.

Ketua Kelompok Wanita Tani Maju (KWT) di kampung Kamal, Siti Aisyah mengaku KWT telah berdiri sejak Oktober 2019 dan beranggotakan 73 orang yang memanfaatkan pekarangan rumah melalui konsep Rumah Pangan Lestari (RPL).

Dua anggota diantaranya menanam tanaman jahe merah dengan luasan 4 kali 3 meter, yang dimulai sejak tahun lalu dengan bibit yang dibeli melalui pasar dengan harga yang lumayan mahal yakni Rp40 ribu per kilogram.

“Awalnya hasil panen hanya dipakai untuk kebutuhan konsumsi pribadi saja, namun sejak adanya bantuan CSR disalah satu perusahaan tersebut,mengajak kelompok wanita tani tersebut ke Jogjakarta selama 2 hari pada awal bulan Maret agar belajar pelatihan pengolahan produksi jahe.

Hasil panennya kini tak lagi dipakai seperti biasanya melainkan dijadikan produk olahan bubuk dengan nama “jahe wangi instan”. Setelah belajar dari kelompok tani yang ada di Jogja, pandemi covid-19 pun mulai mewabah, hal ini justru dimanfaatkan para ibu-ibu untuk melakukan inovasi yang sudah dipelajari,” terang Siti.

Saat ini Ada 9 orang ibu-ibu yang mengolahnya, merawat tanaman jahe membutuhkan kesabaran karena untuk menghasilkan jahe yang berkualitas harus menunggu selama 7 bulan, dan bibit jahe yang dibeli di pasar tersebut harus ditanam di polibag agar pertumbuhannya juga bagus.

Ketika berhasil dipanen,olahan tersebut membutuhkan bahan baku lain seperti sereh,daun pandan,kapulaga,kayu manis dan cengkeh yang bisa didapatkan dari rumah pangan lestari yang ditanam di pekarangan rumah warga kampung kamal.

“Awalnya, cuci dulu bahan-bahannya, setelah itu di blender, kemudian di saring dan di endapkan minimal setengah jam, kemudian di masak 3 jam sampai berbentuk pasir atau bubuk,” terang Siti.

Untuk 1 bungkusnya dengan berat 100 gram Siti dan kawan-kawan jual dengan harga Rp15 ribu, penjualannya pun terus meningkat yang awalnya dari puluhan kini dalam sehari menerima pesanan minimal 200 bungkus perharinya. Pembelinya dari kalangan antar warga, perusahaan maupun wisatawan yang ingin berkunjung.

“Alhamdulillah bisa buat tambah-tambah pemasukan ibu-ibu disini. Ditengah pandemi covid-19 saat ini memang sangat dianjurkan untuk selalu menjaga kesehatan tubuh, apalagi khasiat jahe merah ini juga sangat bagus, selain menghangatkan tubuh juga untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh,dan melancarkan metabolisme,” tutup Siti. (/sop/hb)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.