Jakarta, helloborneo.com – Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) menilai kekalahan Indonesia atas gugatan Uni Eropa tentang larangan ekspor nikel di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) belum berdampak serius terhadap Indonesia.
Direktur Eksekutif Pushep Bisman Bhaktiar mengatakan putusan WTO tentang larangan ekspor nikel belum berdampak serius terhadap Indonesia. Sebab, kata Bisman, keputusan tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap. Kendati demikian, kata dia, putusan ini bisa berpotensi membuat investor smelter menjadi ragu dengan kepastian hukum di Indonesia. Akibatnya mereka menahan investasi, khususnya smelter sampai kemudian ada putusan akhir.
“Kalau saat ini kalah di WTO pada tahap awal menurut saya wajar. Karena memang kebijakan hilirisasi sebenarnya kebijakan lama yang berubah-ubah tidak konsisten dilakukan sejak 2014 sampai sekarang,” jelas Bisman.
Bisman menyarankan pemerintah untuk serius mempersiapkan diri dalam mengajukan banding putusan WTO. Menurutnya, pemerintah bisa mengkaji kembali kelemahan-kelemahan kebijakan ini sehingga dinyatakan kalah oleh WTO. Sebab, jika Indonesia kalah kembali dalam sidang banding nanti maka para investor dapat menjadi khawatir dan mengurungkan niat investasi smelter di Indonesia.
Di sisi lain, investasi smelter ini masih didominasi investor asing karena membutuhkan modal yang tinggi yakni sekitar Rp3 triliun hingga belasan triliun rupiah.
“Hampir dipastikan yang mau dan mampu menanamkan investasi di smelter, pengolahan dan pemurnian itu dari luar negeri. Sampai hari ini investor dari China paling banyak, khususnya smelter nikel,” tambahnya.
Bisman meyakini Indonesia akan menang dalam banding nanti. Alasannya kebijakan larangan ekspor nikel merupakan kebijakan lama yang menjadi amanat konstitusi Indonesia. Di samping itu, kebijakan ekspor merupakan kewenangan negara yang berdaulat. Dengan demikian, kata Bisma, potensi menang dalam sidang banding cukup kuat, tinggal bagaimana Indonesia memperkuat gugatan tersebut.
Selain itu, Bisman juga sepakat jika pemerintah Indonesia melanjutkan hilirisasi komoditas lain seperti nikel. Terutama yang memiliki nilai tambah lebih seperti bauksit dan timah. Sebab, hilirisasi nikel telah terbukti memberikan nilai tambah dan multiplier effect (efek berganda) yang positif kepada masyarakat.
Presiden: Jangan Berhenti di Nikel Meski Kalah di WTO
Akhir November (30/11), Presiden Joko Widodo meminta agar larangan ekspor bahan mentah tidak berhenti pada komoditas nikel saja. Sebab, kata Jokowi, hilirisasi bahan tambang di tanah air untuk mendapatkan nilai tambah.
Jokowi mencontohkan, Indonesia hanya mendapat 1,1 miliar dolar Amerika saat mengekspor nikel dalam bentuk bahan mentah beberapa tahun lalu. Namun setelah ada smelter, pada 2021, ekspor nikel melompat 18 kali menjadi 20,8 miliar dolar Amerika.
“Tidak bisa lagi kita mengekspor dalam bentuk bahan mentah, mengekspor dalam bentuk raw material, sudah. Begitu kita dapatkan investasinya, ada yang bangun, bekerja sama dengan luar dengan dalam atau pusat dengan daerah, Jakarta dengan daerah, nilai tambah itu akan kita peroleh,” ujar Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Investasi Tahun 2022 di Jakarta, Rabu (30/11/2022) seperti dikutip dari laman setkab.
Jokowi menyebut kekalahan Indonesia di WTO tidak akan menyurutkan langkah Indonesia untuk melanjutkan kebijakan hilirisasi bahan-bahan tambang lainnya seperti bauksit. (voa/log)