Jakarta, helloborneo.com – KUHP Indonesia mendapat sorotan dari dunia internasional. Di antaranya datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lembaga internasional itu menilai KUHP yang baru memiliki beberapa pasal yang bertentangan dengan kewajiban hukum internasional terkait hak asasi manusia. Selain itu, PBB menilai ada beberapa pasal yang berpotensi melanggar kebebasan pers di Indonesia.
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Sung Y. Kim juga mengkhawatirkan KUHP itu dapat berdampak pada pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental di Indonesia. Dia menyebut kebijakan itu mungkin dapat berpengaruh di sektor bisnis karena para pelaku bisnis, termasuk investor, akan mempertimbangkan hukum yang dapat melindungi kebebasan dan nilai-nilai penting lainnya.
Menanggapi sorotan luar negeri itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Omar Sharief Hiariej dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (12/12), mengatakan KUHP disusun dengan cermat dan hati-hati dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan individu, negara dan masyarakat serta mempertimbangkan kondisi bangsa yang multietnis, multi-agama dan multi-budaya.
Sebagai negara demokratis lanjutnya KUHP juga disusun melalui proses konsultasi publik yang panjang guna mendapatkan masukan dari masyarakat melalui partisipasi yang bermakna.
Mengenai pasal terkait perzinaan dan kohabitasi, Edward menjelaskan pasal-pasal ini hanya diterapkan berdasarkan delik aduan absolut. Hanya suami atau istri (bagi yang terikat perkawinan) atau orangtua atau anak (bagi yang tidak terikat perkawinan) yang dapat membuat pengaduan. Pihak lain tambahnya tidak dapat melapor apalagi sampai main hakim sendiri.
Edward juga menjelaskan pasal-pasal tentang perzinaan dan kohabitasi (kumpul kebo) akan sulit menjerat pasangan wisatawan asing yang tengah berlibur di Indonesia.
“Wisatawan (asing) tidak akan bisa dijerat dengan pasal ini. Mengapa? Ketika sepasang (turis asing) datang berlibur ke Indonesia, mereka tidak terikat perkawinan yang sah, yang harus mengadukan itu cuma dua kemungkinan, anak-anak mereka atau orang tua mereka, yang notabene tidak berada di Indonesia, sedang berada di luar negeri sana. Jadi itu kekhawatiran yang berlebihan,” kata Edward.
Dengan adanya pasal ini, lanjutnya, maka tidak boleh ada penggrebekan atau penyisiran karena sifatnya delik aduan. Jadi tidak boleh ada peraturan daerah yang menetapkan perzinaan dan kohabitasi sebagai delik biasa karena KUHP menyatakan sebagai delik aduan.
Edward menjelaskan ada tiga jenis kejahatan yang tidak boleh dibandingkan antar negara, yakni delik politik, delik penghinaan, dan kejahatan terhadap kesusilaan. Karena, katanya. antara satu negara dengan negara lain memiliki perbedaan dalam kondisi sosial, budaya, dan agama.
Dia mencontohkan di banyak negara aborsi adalah tindak pidana, sedangkan di negara-negara Eropa Utara praktik itu diperbolehkan.
Mengenai minuman beralkohol, dia mengatakan aturan itu sudah ada di KUHP lama dan tidak pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Ia juga mengatakan, terkait kebebasan berpendapat, KUHP yang baru membedakan antara kritik dan penghinaan. Kritik, katanya, jelas tidak akan dapat dipidana karena dilakukan untuk kepentingan umum sementara penghinaan di negara manapun terhadap kepala negara dan lembaga negara jelas merupakan sebuah perbuatan tercela.
“Namun KUHP mengaturnya sebagai delik aduan sehingga masyarakat, termasuk simpatisan dan relawan, tidak dapat melaporkan. Jadi yang bisa mengadukan hanya presiden atau wakil presiden dan ketua lembaga negara,” ujar Edward.
Soal kebebasan pers, lanjut Edward, juga tetap terjamin. Dalam penjelasan terhadap pasal 218 dan 240 KUHP yang baru mengadopsi Pasal 6 huruf d Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat sehingga tidak dapat dipidana.
Mengenai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, dia menjelaskan hanya dua kejahatan yang diadopsi oleh KUHP yang baru, yakni genosida dan kejahatan atas kemanusiaan. Aturannya, katanya, mengacu pada undang-undang tentang pengadilan HAM, yaitu tidak kadaluwarsa dan berlaku surut.
Edward menekankan KUHP yang baru tidak mendiskriminasi perempuan, anak, dan kelompok minoritas, termasuk agama dan kepercayaan manapun. Sebab, katanya, seluruh ketentuan yang berasal dari KUHP sebelumnya sudah sedapat mungkin diformulasi ulang dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum hukum yang berlaku universal.
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut, pemerintah akan terus melakukan sosialisasi substansi KUHP kepada seluruh masyarakat, terutama aparat penegak hukum, serta mempersiapkan berbagai aturan pelaksanaan sehingga meminimalisir penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.
Mengenai tanggapan dari PBB, Edward mengungkapkan pihaknya menerima surat dari PBB pada 25 November 2022. Namun, menurutnya, surat itu bukan ditujukan kepada pemerintah tapi ke Komisi III DPR. Namun, Komisi III sudah menyetujui rumusan RUU KUHP itu sehari sebelumnya sehingga respon PBB itu terlambat.
PBB menawarkan bantuan terkait pasal-pasal mengenai kebebasan berekspresi, tapi pemerintah dan Komisi III sudah sepakat untuk menghapus dua pasal: yaitu tentang penghinaan terhadap pejabat negara dan penghinaan kepada kekuasaan umum. KUHP yang baru juga membatasi pemerintah hanyalah presiden dan wakil presiden, sedangkan lembaga negara adalah lembaga legislatif (MPR, DPR, dan DPD) dan lembaga yudikatif (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung).
Dalam penjelasan KUHP, lanjutnya, yang disebut dengan penyerangan harkat dan martabat itu hanya ada dua, yakni menista dan memfitnah.
Edward juga mengatakan, pasal tentang penghinaan terhadap presiden/wakil presiden serta lembaga negara bukan untuk membungkam demokrasi, kebebasan berkespresi, dan kebebasan berpendapat karena kritik yang diwujudkan dalam unjuk rasa itu sah dan diperlukan bagi negara demokrasi sebagai kontrol sosial.
Dalam jumpa pers tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan Kementerian Luar Negeri, Senin (12/12) telah memanggil perwakilan PBB di Jakarta karena ini terkait dengan tata hubungan berdiplomasi.
“Adab yang berlaku adalah dalam interaksi perwakilan asing atau PBB di suatu negara, jalur komunikasi kan selalu ada untuk membahas berbagai isu. jadi kita tidak menggunakan media massa sebagai alat untuk menyampaikan satu hal yang belum diklarifikasi,” tutur Faizasyah.
Karena itulah, lanjutnya, Kementerian Luar Negeri mengundang Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharief Hiariej untuk menjelaskan berbagai pertanyaan yang muncul di media yang belum terjawab. Oleh sebab itu, perwakilan asing atau PBB jangan terburu-buru mengeluarkan sebuah pernyataan sebelum mendapatkan informasi yang lebih jelas.
Pada kesempatan itu, Edward menjelaskan KUHP yang disahkan DPR tersebut merupakan produk nasional pertama setelah 77 tahun merdeka. Proses perumusan KUHP ini sejatinya sudah dimulai sejak 1963.
Edward menambahkan KUHP yang baru ini berlaku efektif tiga tahun lagi atau 2025.
Dia juga menegaskan KUHP baru tersebut bersifat humanis karena mengakhiri pro dan kontra mengenai hukuman mati. Dalam KUHP ini, pidana mati bersifat khusus yang merupakan alternatif terakhir dengan masa percobaan sepuluh tahun. Dengan penilaian yang terukur dan objektif, menurutnya, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden atau pidana penjara maksimum 20 tahun.
Andreas Harsono dari Human Rights Watch menilai Undang-undang KUHP melanggar banyak sekali standar baku hukum hak asasi manusia internasional yang sudah diratifikasi oleh parlemen Indonesia. Dia mencontohkan mengenai bab penodaan agama.
Andreas Harsono mendorong supaya masyarakat sipil di Indonesia mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar pasal-pasal yang dinilai melanggar demokrasi dan HAM dibatalkan. (voa/log)