Mahkamah Konstitusi Kembalikan Wewenang Penentuan Dapil Pemilu Kepada KPU

Para pejalan kaki tampak melewati spanduk kampanye Pemilu 2019 di salah satu area di Jakarta pada 15 Maret 2019.(Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Para pejalan kaki tampak melewati spanduk kampanye Pemilu 2019 di salah satu area di Jakarta pada 15 Maret 2019.(Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Jakarta, helloborneo.com – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, penetapan Daerah Pemilihan (Dapil) pemilu, kembali dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selama ini, Dapil untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi, ditentukan bersama oleh DPR dan presiden, yang secara prinsip merupakan peserta pemilu itu sendiri.

Keputusan MK itu disampaikan dalam sidang yang digelar pada Selasa (20/12), dalam perkara Nomor 80/PUU-XX/2022 yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Pada Pemilu 2009 hingga 2019, penentuan Dapil DPR dan DPRD Provinsi dilakukan melalui undang-undang yang dibuat DPR dan Presiden. Prinsip tersebut dinilai tidak tepat, karena anggota DPR dan Presiden sama-sama merupakan peserta pemilu.

Dalam diskusi terkait keputusan MK tersebut, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Ramlan Surbakti, mengatakan penetapan Dapil oleh DPR dan Presiden adalah salah satu titik lemah pemilu di Indonesia.

“Ini titik lemah pemilu kita. Karena alokasi kursi DPR di tiap provinsi itu enggak jelas aturannya, dan yang melakukan pembentukan daerah pemilihan itu peserta pemilu,” kata Ramlan, Kamis.

Putusan MK juga membawa angin segar, karena membuka kesempatan bagi KPU untuk melakukan perbaikan tata kelola Dapil.

“Putusan MK itu sangat menekankan mengenai kesetaraan nilai suara, proporsionalitas dan sebagainya. Ini kan tidak mungkin dicapai, kalau tidak menata kembali alokasi kursi DPR,” tegasnya.

Penetapan Dapil oleh DPR dan Presiden dalam Pemilu 2009, 2014 dan 2019 dinilai Ramlan telah menyalahi prinsip. Kondisi di mana peserta pemilu mengatur sendiri daerah pemilihan yang mereka ikuti akan menimbulkan konflik kepentingan. Apalagi, Ramlan menilai partai di mana para politisi itu bernaung, memiliki jargon bahwa alokasi kursi bisa bertambah tetapi tidak boleh berkurang.

“Ini sumber dari double crime. Alokasi kursi itu sudah tidak menjamin kesetaraan nilai suara, tidak menjamin proporsionalitas, dan yang kedua juga jadi meandering, karena yang membuat mereka,” ujarnya.

Undang-undang sendiri telah menetapkan bahwa pemilu memiliki 11 tahapan dan menjadi tugas serta kewenangan KPU. Uniknya, khusus untuk tahap pembentukan Dapil, tugas dan kewenangan itu diambil alih oleh DPR dan Presiden, yang menurut Ramlan menciptakan ketidakkonsistenan dalam penerapan aturan.

Selain itu, KPU sebaiknya juga mempertimbangkan terkait jumlah anggota DPR yang ideal bagi Indonesia. Apalagi, saat ini ada penambahan provinsi baru di Papua, yang diproyeksikan akan menambah jumlah anggota DPR juga. Padahal, di masa depan, pemekaran provinsi masih dimungkinkan.

“Ini sekarang anggota DPR sudah 580 orang, menurut saya sudah terlalu banyak. India saja yang 1,4 miliar penduduknya, anggota DPR-nya hanya 545. Amerika Serikat yang penduduknya 350 juta, anggota DPR-nya hanya 435. Kita yang penduduk 280 juta, kok 580,” imbuh Ramlan.

Putusan MK

Putusan MK ini dibacakan pada Selasa (20/12) secara bergantian oleh para hakim. Pokok putusan dibacakan oleh Ketua MK, Anwar Usman.

MK juga menyatakan, ketentuan norma Pasal 189 ayat (5) UU Pemilu bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur di dalam Peraturan KPU.

Selain itu, MK juga menyatakan Lampiran III dan Lampiran IV UU Pemilu, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pertimbangan hukum yang dipakai oleh para hakim MK salah satunya adalah karena penetapan Dapil merupakan satu dari 11 tahapan pemilu. Karena itulah, secara normatif, pengaturan penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu merupakan tugas KPU.

Tiga Pilihan Langkah KPU

Peneliti CSIS, Arya Fernandez, memperkirakan sejumlah respons yang akan dilakukan KPU dalam menanggapi putusan MK tersebut, yang mencakup status quo, moderat dan progresif.

“Kalau kita asumsikan tiga model kebijakan tadi yang akan diambil oleh KPU, apa efeknya pada suara partai. Karena bagaimanapun, dalam proses pembuatan Dapil, tentu partai dalam dugaan, saya pasti akan juga punya peran atau paling enggak ikut-ikut terlibat, mungkin memberikan masukan kepada KPU, mungkin melakukan “intervensi”,” tandas Arya.

Jika KPU mengambil kebijakan status quo, artinya hanya melakukan perubahan secara parsial dan terbatas, maka hal tersebut tidak akan banyak berpengaruh bagi partai.

“Terutama pada partai-partai parlemen, sembilan partai parlemen. Kenapa? Karena setelah kita melakukan pemilu secara demokratis lima kali pasca reformasi, itu sudah mulai terbentuk stabilitas suara pemilih. Indeks volatilitas kita kan juga sudah gitu,” paparnya.

Pilihan langkah kedua adalah moderat, dimana KPU akan melakukan pendataan ulang pada Dapil yang terlalu sedikit kursi atau terlalu banyak. Kebijakan ini berpengaruh terhadap peroleh kursi partai, tetapi tidak terlalu besar.

Sementara jika KPU mengambil kebijakan progresif, dampaknya akan terasa bagi suara partai, terutama partai-partai menengah bawah.

“Kenapa partai menengah bawah? Karena kita mengetahui, bahwa partai menengah bawah ini banyak mendapatkan kursi pada tahap dua atau tahap tiga,” jelas Arya.

Kebijakan Deviasi Diperlukan

Ketua Dewan Pembina Perludem, Didik Supriyanto, menguraikan bahwa secara sederhana, nilai satu kursi dibanding penduduk dapat diketahui dengan membagi jumlah penduduk dengan jumlah kursi. Namun, dalam konteks Indonesia, langkah itu tidak bisa diterapkan serta merta.

“Kalau kita itu terapkan ke seluruh provinsi, maka ada provinsi-provinsi yang hanya mendapat satu, atau dua kursi. Sementara ada provinsi yang bisa mendapat 90 bahkan 100 kursi,” ujarnya.

Karena itulah, dalam penerapan kesetaraan nilai penduduk, diperlukan deviasi.

“Dalam konteks kita itu ada dua deviasi. Satu, deviasi Jawa dan luar Jawa, yang kedua deviasi per provinsi, terutama di luar Jawa,” paparnya.

Deviasi Jawa dan luar Jawa bukan aturan baru dalam politik Indonesia. Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, terdapat ketentuan dalam undang-undang yang menyebut pasangan harus mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Jika tidak ada deviasi, maka pemenang Pilpres sebenarnya hanya ditentukan oleh suara pemilih di Jawa saja, yang saat ini mencapai sekitar 55 persen. Didik mengaku pernah membuat konsep deviasi ini, misalnya dengan menetapkan bahwa dari total 580 kursi DPR, Jawa memperoleh jatah separuh atau 290, dan separuh sisanya untuk luar Jawa. Sementara saat ini, karena tanpa ketentuan deviasi, Jawa mendapat jatah 306 kursi dan seluruh wilayah luar Jawa 274 kursi.

Deviasi kedua, ujar Didik adalah deviasi jumlah minimal kursi untuk setiap provinsi. Kebijakan tersebut untuk mengakomodasi jumlah minimal anggota DPR di provinsi yang penduduknya terlalu sedikit. Misalnya dengan menetapkan bahwa minimal ada 3 kursi di setiap provinsi dalam Pemilu 2024.

“Sebetulnya rumusan itu untuk mengakomodasi bahwa Jawa dan luar Jawa itu harus diperlakukan berbeda,” tegas Didik. (voa/log)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.