David Purba
Penajam, helloborneo.com – Perjalanan Sat Intelkam Polres Penajam Paser Utara (PPU) menuju kediaman mantan narapidana teroris kasus Bom Bali I, Puryanto untuk memberikan bantuan berupa pakan ikan Cargiri AL 633 sebanyak 4 sak, Gramoxone 60 Botol, dan Metafuron sebanyak 20 Botol tak menemui kendala.
Puryanto, adalah mantan narapidana terorisme (napiter) Bom Bali I, 2002, asal Kabupaten PPU yang ditangkap bersama 12 orang napiter lainnya. Di desa Sukaraja, Kecamatan Sepaku, Puryanto dikenal luas. Bukan karena mantan napiter Bom Bali, namun karena mampu mengubah pemikiran warga dari transmigrant miskin, menjadi inspirator masyarakat sekitarnya.
Melalui Gabungan Kelompok Tani “Gapoktan Sukaraja” yang diketuainya kini membawahi 21 kelompok tani dan tiga kelompok wanita tani, dengan luas Garapan 100 hektar lebih.
Puryanto mengisahkan sebelum dirinya tak patah semangat meski mantan narapidana, dirinya berkeyakinan jalan hidup meski salah bisa diubah, apalagi awalnya ia mulai membibitkan tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) yang dibelinya langsung di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) bersertifikat di Medan dengan uang pribadinya.
Waktu itu 2001 atau dua tahun sebelum ia ditangkap dengan tuduhan turut membantu pelarian buronan kasus Bom Bali I, Ali Imron di Kaltim. Ali Imron dikenal sebagai adik kandung dari Mukhlas alias Ali Gufron dan Amrozi, yang keduanya telah dihukum mati.
Awal 2000, komoditas kelapa sawit belum banyak dibudidaya petani lantaran sulitnya memperoleh bibit berkualitas. Bibit unggul bersertifikat hanya ada di PPKS Medan. Selebihnya, pembelian di luar lembaga, dapat dipastikan palsu. Setelah ditangkap dan dipenjara tiga tahun, Puryanto tidak patah semangat. Ia menyuruh istrinya (meninggal dunia Agustus 2020) terus menyemai benih kelapa sawit yang telah dirintisnya sejak 2001.
Usai menjalani hukuman selama tiga tahun, Puryanto bebas dan dikembalikan kepada keluarga. Cap sebagai narapidana teroris oleh pemerintah masih melekat hingga kini. Kadang status ini dijadikan cara untuk menjegal, ketika Puryanto ingin berbuat lebih untuk daerahnya.
Puryanto adalah orang yang visioner, berpandangan luas ke masa depan. Sejak lulus kuliah pada 2000 lalu dia tetap berpikir menjadi petani sukses. Pilihannya saat itu, komoditas kelapa sawit yang mulai booming saat itu.
Pria lulusan Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mulawarman Samarinda, sempat mengajar di beberapa sekolah di Samarinda. Pilihan menjadi guru tentu adalah pekerjaan mulia dan terpandang. Namun, jiwanya sebagai anak petani tetap berontak di dalam hati. Ia memutuskan berhenti mengajar dan mulai membibitkan benih kelapa sawit secara mandiri.
“Akhir 1990-an, banyak warga bekerja sebagai perambah hutan. Mencari kayu lalu menjualnya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Profesinya tidak jauh dari penebang kayu. Waktu itu. di Sukaraja ini kalau mau didata ada ribuan mesin senso (sebutan warga untuk gergaji mesin/chain saw),” jelas Puryanto.
Saya mengajak pekerja kayu untuk menanam kelapa sawit saja. Saya katakan, sampai kapan mau jadi penebang kayu. Hutan kian hari semakin habis. Akhirnya, pelan-pelan mereka mengikuti saran saya dan akhirnya kini mereka telah memiliki kebun paling sedikit empat hektar,” ujar lelaki yang pernah bercita-cita menjadi tentara ini.
Selain mendukung Pilkada damai di Kaltim, Puryanto mengajak anggotanya untuk tidak mendukung adanya gerakan radikalisasi dan terorisme. Bahkan dalam deklarasinya, Puryanto juga menyuarakan masyarakat untuk mendukung penetapan Kabupaten PPU sebagai lokasi Ibu Kota Negara Republik Indonesia menggantikan Kota Jakarta.
“Artinya kita tidak mendukung pikiran teman-teman yang ingin bersikap radikal. Radikal dalam apa? Kita kan negara demokrasi, radikal kan jalan pintas. Cuma kalau berbicara radikal khan harus sportif. Apapun alasannya, kalau menerjang dan menentang undang-undang, itu juga namanya radikal,” tegasnya.
Puryanto adalah sosok napiter insaf yang sukses membangun ekonomi keluarga dan masyarakat disekitarnya. Memang terasa tidak adil jika usaha kerasnya merajut kebhinekaan di tengah masyarakat yang majemuk, harus dirusak oleh cap status napiter di masa lalunya.
Pemerintah juga harus memberikan jaminan bahwa status napiter yang disandang seseorang yang kasusnya telah lama terjadi, hukuman telah dijalani, agar diberi ruang berekspresi. Termasuk, ekspresi menjadi agen perubahan yang justru membawa masyarakat pada kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Kini Puryanto hidup dengan tenang dan telah melupakan masa lalu yang dianggap sebagai bagian dari takdir hidup. Penghasilannya sebagai petani sangat mencukupi kehidupan keluarga sehari-hari. Bahkan, dari pengalamannya berkebun kelapa sawit, Puryanto kerap menjadi pembicara di berbagai tempat. Tak jarang ia diundang oleh Forum Koordinasi Pencegahan Teroris (FKPT) daerah lain untuk bercerita tentang kesuksesannya mengembangkan kebun kelapa sawit.
Tak hanya kelapa sawit, Puryanto juga kini tengah mengembangkan Agro Wisata dikawasan Sepaku II seluas 4,5 hektar, lokasi ini tak jauh dari Ibu Kota Negara Nusantara.
“Kalau kemarin kita punya pemancingan sama kolam renang anak-anak, sekarang kita kembangkan ada mainan sama homestay,” jelasnya.
“Harapan kami mereka (napiter lainnya) harus berubah, berubahnya apa?, membangun Indonesia ini dengan karya, membangun dengan retorika bukan zamannya, tapi dengan inovasi-inovasi untuk menghadapi Ibu Kota Baru,” pungkasnya. (adv/log)