Jakarta, helloborneo.com – Setelah menghentikan kebijakan ekspor bahan mentah nikel dan bauksit, Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah akan segera menghentikan ekspor tembaga mentah pada tahun ini.
“Ini (ekspor mentah) nikel sudah setop. Saya sudah sampaikan lagi Bauksit di Desember kemarin Bauksit setop di bulan Juni (2023). Nanti sebentar lagi mau saya umumkan tembaga (mentah) kita setop (ekspor) tahun ini, setop,” ungkapnya di Jakarta, Rabu (1/2).
Jokowi menjelaskan, langkah ini akan diambil seiring dengan kesiapan ekosistem industri di Tanah Air. Hal tersebut, katanya, terlihat dari smelter PT Freeport Indonesia dan smelter di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sudah siap lebih dari 50 persen.
“Smelter yang ada di NTB, sudah lebih dari 50 persen jadi. Freeport sudah 51 persen jadi. Jadi berani kita setop, dan supaya ingat Freeport itu sudah mayoritas miliki kita, jadi jangan terbayang-bayang Freeport masih miliknya Amerika, sudah mayoritas kita miliki,” tuturnya.
Lebih jauh, Jokowi menegaskan, langkah hilirisasi industri minerba di Tanah Air tersebut kelak dapat membuat Indonesia menjadi negara maju. Pasalnya, menurutnya, nilai tambah yang dihasilkan dari hilirisasi bahan mentah minerba ini cukup tinggi.
Ia mencontohkan bauksit. Indonesia, katanya merupakan negara eksportir bahan mentah bauksit nomor tiga terbesar di dunia, namun, menjadi negara nomor 33 terbesar di dunia dalam mengeskpor alumunium yang berbahan dasar bauksit. Hal serupa terjadi dengan panel surya, yang mana Indonesia hanya menduduki nomor 31 sebagai pengeskpornya. Menurutnya, fakta ini sangat disayangkan mengingat Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan cadangan bauksit terbanyak.
“(Nilai tambah) Nikel tadi sudah bisa 30 kali, yang ini (bauksit) bisa 194 kali, kenapa berpuluh-puluh tahun tidak kita lakukan? Apa yang salah dari kita? Kita terlalu nyaman dengan ekspor mentahan karena memang paling cepat dapat duitnya, dan tidak pusing memikirkannya. Sudah gali, kirim, gali kirim. Nikel juga sama,” tuturnya.
Jokowi menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh mundur dalam melakukan hilirisasi industri minerba. Ia memproyeksikan dampak dari hilirisasi minerba dan migas akan menciptakan 8,8 juta pekerjaan.
“Kalau ekosistem besar ini bisa kita bangun, nikelnya diintegrasikan dengan tembaga, diintegrasikan dengan bauksit, diintegrasikan dengan timahnya nanti bisa menghasilkan yang namanya EV baterry, lithium batery. Saya tidak tahu berapa nilai tambah yang akan muncul. Kalau bisa masuk lagi ke mobil listrik dan kita menjadi produsen terbesar mobil listrik di dunia, saya tidak tahu lagi nilai tambah yang muncul berada pada angka berapa karena belum kejadian,” kata Presiden.
“Perkiraan saya di tahun 2027-2028 itu kalau kita konsisten, jadi ini barang. Jangan takut, konsisten dan kawal terus. Dan kita harapkan di 2045, GDP perkiraan saya akan berada di angka 9-11 triliun dolar. dan income per kapita kita berada di angka 21ribu-29 ribu dolar. Jadi negara maju kita,,” tegasnya.
Pengamat Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengungkapkan tekad Jokowi untuk melakukan hilirisasi industri di dalam negeri merupakan langkah yang cukup baik. Apalagi, katanya, kebijakan ini sudah sesuai dengan dasar hukum yang ada yakni UU Minerba tahun 2009, yang kemudian seharusnya sudah berlaku sejak 2014.
“Tapi saat itu pemerintahan SBY itu kan diancam juga, terutama oleh Freeport akan diadukan ke WTO (World Trade Organization), akan dilakukan PHK dan lain sebagainya. Sehingga pemerintahan Jokowi menunda untuk melarang ekspor dan mengharuskan hilirisasi di dalam negeri. Baru sekarang Jokowi pada periode kedua, berani melakukan pelarangan tersebut. saya rasa ini merupakan langkah yang cukup berani bahkan menurut saya patriot,” ungkap Fahmy.
Menurutnya, kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah mineral tersebut sudah terbukti meningkatkan nilai tambah di dalam negeri seperti yang terjadi pada nikel.
“Pengalaman nikel, di awal memang terjadi penurunan volume ekspor sehingga Indonesia kehilangan devisa sekitar Rp21 triliun. Tapi dalam proses selama dua tahun maka ada nilai tambah yang diperoleh sampai Rp62 triliun, ini peningkatkan yang cukup besar,” tuturnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi INDEF Eko Listyanto mengungkapkan kebijakan tersebut merupakan langkah yang cukup strategis. Pasalnya, katanya, wacana hilirisasi industri di dalam negeri sudah muncul dari presiden ke presiden lainnya namun tidak pernah terealisasi.
“Jadi kalau sisi konsep itu hal yang bagus, untuk mempercepat atau mengakselerasi ekonomi. Cuma memang yang harus dipastikan adalah governance di dalam, bagaimana kita mengatur dan mengelola hilirisasi nanti ke depan,” ungkap Eko.
Menurutnya, konsep kelembagaan perlu dibenahi oleh pemerintah agar nantinya hilirisasi industri tidak dikuasai oleh hanya segelintir pelaku usaha.
“Tinggal komponen yang penting adalah kelembagaannya dipastikan bahwa ketika produk-produk ini dihilirkan, jangan kemudian hanya segelintir pelaku usaha saja yang bisa melakukan itu, karena nanti akan terjadi monopoli juga di dalam negeri. Ketika mengundang investor pastikan juga cukup banyak yang masuk, jangan hanya cuma satu atau dua saja supaya tidak terjadi monopoli dalam produk hilirnya nanti,” jelasnya.
Memang Eko mengakui, ekosistem di dalam negeri belum sepenuhnya siap dalam mengawal hilirisasi industri tersebut. Namun, menurutnya, langkah strategis ini harus segera dimulai dan dicoba agar persiapannya bisa dilakukan secara bertahap dengan baik.
“Kalau menurut saya kalau ditanya apakah siap, kemungkinan banyak yang tidak siap. Tapi harus dicoba, artinya harus dilaksanakan, tentu tidak trial and error tapi juga dilengkapi dengan misalnya untuk mendorong pengusaha dan investasinya bisa masuk ke hilir harus ada insentif, terus kemudian juga pola bermitra dengan perusahaan di luar negeri yang sudah biasa melakukan proses pengolahan jadi opsi. Ruang-ruang ini yang perlu banyak dibuka sehingga memungkinkan,” katanya.
Senada dengan Jokowi, Eko cukup yakin bila hilirisasi industri ini dilakukan secara konsisten, Indonesia bisa menjadi negara maju dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. hal tersebut sudah dibuktikan dengan berbagai negara yang menggelar strategi serupa.
“Seperti Korea, Jepang, dan China yang menuju negara maju ini semua jalurnya adalah industri. Dan kalau dilihat polanya bukan industri yang jual mentah tapi memang industri yang bikin di dalam. Artinya peluang itu ada, dan harus dipaksakan. Karena kalau mengikuti business as usual, tidak bisa kita menjadi negara maju. Ini peluangnya sudah tertutup. Nanti di 2040 bonus demografi habis, income per kapitanya belum mencapai $12 ribu,” pungkasnya. (voa/log)