Kelaikan Kedelai Non GMO atau “Identity Preserved” di Indonesia

Tempe dengan bahan baku kedelai non GMO (atau kedelai "IP") diyakini lebih enak dan sehat bagi yang mengkonsumsinya. (Foto: Courtesy/Attempe)
Tempe dengan bahan baku kedelai non GMO (atau kedelai “IP”) diyakini lebih enak dan sehat bagi yang mengkonsumsinya. (Foto: Courtesy/Attempe)

Jakarta, helloborneo.com – Kedelai yang identitasnya dipertahankan (IP) atau kedelai non GMO (yaitu tidak termodifikasi secara genetika) mulai dilirik karena memiliki keistimewaan, yaitu kualitasnya yang sangat baik untuk makanan, seperti tempe atau tahu. kedelai ini ditanam secara konvensional, tetapi kemudian ditambah dengan nutrisi dan kimia yang dibutuhkan. 

Sementara itu, kedelai komoditas adalah kedelai yang dimodifikasi secara genetika atau GMO (genetically modified organism ), di mana benihnya direkayasa di laboratorium agar tahan penyakit, hama dan kondisi lingkungan.

Kami enghubungi Made Astawan, pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB dan ketua Indonesia Tempe Forum. Menurut Astawan, faktor penting dalam produksi tempe dan tahu adalah ketersediaan dan harga kedelai, dan bukan mutunya. 

“Sehingga untuk tempe tahu yah di Indonesia lebih concern dengan kedelai komoditas, kedelai GMO, karena alasan harganya lebih murah dan ketersediaannya lebih banyak dibandingkan kedelai non GMO,” ungkapnya. 

Itulah sebabnya minat industri tempe dan tahu Indonesia pada kedelai IP sangat kecil.

Sebagian petani di AS berusaha untuk menggalakkan budi daya tanaman kedelai yang ditanam dan diolah lewat apa yang disebut sistem identity preservation atau pelestarian identitas ini. 

Proses lewat program IP ini, kedelai IP menawarkan sesuatu yang lebih istimewa dibandingkan kedelai komoditas. Misalnya, lewat proses IP ini bisa dikembangkan kedelai dengan kadar protein lebih tinggi, atau asam oleat tinggi sehingga semakin berpotensi menjadi pengganti daging dan juga lebih sehat.

Di AS sebuah organisasi bernama Specialy Soya and Grain Alliance (SSGA), bergelut dengan peningkatan ekspor kedelai IP ini.

Shane Frederick adalah manajer program strategis di SSGA. Dia mengatakan, “Itu adalah pasar (maksudnya Indonesia) dari sudut pandang IP kami harap bisa dikembangkan. Salah satu bidang yang kami bahas, ketika kami ke Vietnam misalnya dan memperkenalkan kedelai IP, seorang peserta seminar dari India berkilah bahwa untuk inovasi pangan, dalam hal ini susu kedelai dan tahu, maka IP adalah peluangnya karena bisa dirancang sesuai kebutuhan.” 

Indonesia mengkonsumsi rata-rata 2,5 juta ton kedelai per tahun, tetapi masalahnya di Indonesia adalah, selama daya beli masyarakat di Indonesia belum kuat, maka perhatian akan produk tempe dan tahu yang bermutu lebih baik belum akan menjadi prioritas masyarakat, dan harga yang terjangkau akan menjadi prioritas untuk para pengrajin tempe dan tahu disana. 

Di negara Asia lain, seperti Korea Selatan misalnya, di mana baik daya beli maupun kesadaran konsumen dengan kesehatan sudah tinggi, perusahaan makanan sudah melirik kedelai IP ini untuk digunakan sebagai bahan pembuatan pangan mereka. (voa/log)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.