Oleh: F. F Sanses, S.H.*
Bengkulu, helloborneo.com – Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat.
Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.
Hasil survey dunia menunjukkan bahwa 77 persen dari pemuda-pemudi Indonesia usia 13 hingga 24 tahun ingin tersambung ke internet dimanapun mereka berada. Jumlah ini lebih banyak daripada mereka yang berada di negara maju seperti Amerika Serikat atau Perancis.
Selain itu, 69 persen responden di kelompok usia yang sama juga setuju dengan pernyataan bahwa mereka akan merasa kehilangan jika tidak menggunakan media sosial. Orang Indonesia yang pengguna internet secara aktif, rata-rata menghabiskan waktu di internet lebih dari lima jam per hari, melebihkan Australia dan China. Hampir setengah dari waktu mereka digunakan untuk mengakses media sosial dan aplikasi ponsel.
Indonesia sebagai negara berkembang dan dengan segala perkembangan teknologi informasinya menyisahkan permasalahan terhadap warga negaranya. Permasalahan tersebut berupa kelatahan serta overdosis dalam menggunakan teknologi informasi. Kelatahan tersebut terjadi dalam menyaring, menanggapi serta menyebarluaskan informasi yang terdapat dan beredar di media sosial. Sedangkan, untuk overdosis penggunaan media sosial rasa-rasanya tak perlu lagi untuk dikemukakan lebih lanjut.
Kontraindikasi dari kelatahan dan overdosis tersebut mengakibatkan arus informasi yang bebas (free flow of information) menjadi kurang sehat. Ditandai dengan penggunaan bahasa kasar penuh hujatan dan sumpah serapah yang kerap ditemui pada konten media sosial. Tidak berhenti pada titik itu saja, pengguna media sosial di Indonesia juga terbilang doyan menyebarkan informasi bualan yang berisi fitnah serta pesan mengandung kebencian.
Padahal, secara yuridis kegiatan di dunia maya semacam itu oleh Negara telah diancam dengan ancaman pidana kurungan penjara dan denda. Namun, mungkin bukan bangsa Indonesia kalau tidak takut dengan ancaman pidana. Kisah teranyar keberanian (lebih tepatnya kebablasan) netizen Indonesia tergambar melalui dilaporkannya salah-satu pemilik akun instagram yang berkomentar pedas pada kasus terbakarnya Pasar Yaik Baru dan Pasar Johar oleh Pemkot Semarang.
Sejatinya arus informasi yang bebas (free flow of information) pada teknologi informasi, khususnya media sosial harus menyasar pada perwujudan pemahaman dan kesadaran (awareness) terhadap isu yang berkembang bukan pula diorientasikan pada perpecahan, penebaran kebencian, kesumiran informasi yang berujung pada kepanikan masal.
Rabu, 2 Maret 2016 pukul 19.49, Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalop) Sumatera Barat merilis telah terjadi aktivitas tektonik berkekuatan 7,8 SR yang berlokasi di 5.16 LS-94.05 BT (682 KM Barat Daya Kepulauan Mentawai-Sumatera Barat) dan berada di Garis Tengah Samudera Hindia.
Perilisan data oleh Pusdalop tersebut selanjutnya diteruskan oleh mass media. Data tersebut tidak hanya menyebar cepat dengan medium mass media. Pengguna media sosial tidak mau ketinggalan menjadi informan. Namun sayangnya, banyak di antara informan yang menggunakan media sosial tersebut malah menebar ancaman berupa penyampaian informasi yang overdosis dan dengan tanpa melakukan penghalusan kata dan kalimat pada informasi kegempaan yang pada akhirnya menimbulkan kepanikan yang berlebihan.
Republika Online memberitakan pada lamannya pada salah satu tajuk yang berjudul “Warga Panik karena Ancaman Tsunami Menyebar di Media Sosial”. Pada berita tersebut diberitakan banyak warga panik hingga berbondong-bondong mengungsi dan menyerbu SPBU yang selanjutnya menimbulkan kemacetan di Kota Padang. Kepanikan tersebut diakui warga karena karena adanya penyebaran kabar tsunami yang begitu cepat lewat sosial media.
Menurut rangkuman penulis dari berbagai sumber terdapat sekitar 70 juta pengguna Facebook, 5o juta pengguna Twitter, 4 juta pengguna Path, 30 juta pengguna Line, 55 juta pengguna BBM, dan dalam angka berjuta pula untuk pengguna beberapa aplikasi sosial lainnya di Indonesia. Tingginya jumlah pengguna media sosial seharusnya dapat dijadikan sarana dalam penyebarluasan informasi yang memiliki nilai edukasi dan dengan tingkat keterpercayaan informasi yang tinggi.
Sebagai negara laboratorium bencana, seharusnya Pemerintah Indonesia beserta dengan otoritas lembaga kebencanaan harus dapat memanfaatkan tingginya jumlah pengguna media sosial untuk menyebarluaskan informasi yang akurat tentang kebencanaan dalam rangka penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi dan mengurangi resiko bencana. Apalagi di antara pengguna cerdas media sosial juga terdapat segmen komunitas yang potensial yakni kawula muda.
Pemerintah harus dapat bermitra dengan menggagas sukarelawan (volunteer) mitigasi bencana yang menyasar pada pengguna media soaial. Kemitraan itu dibangun harus didahului dengan penjaringan pengguna media sosial potensial yang memiliki jumlah jejaring pertemanan tertinggi. Selanjutnya, mitra Pemerintah itu dijadikan sebagai salah satu agent of information yang berfungsi menyebarkan informasi mitigasi bencana kepada masyarakat luas.
Informasi mitigasi bencana yang disebarluaskan tidak hanya terbatas pada peringatan dini (early warning). Namun juga berhubungan dengan informasi lain seperti jalur evakuasi, skema tindakan pertama terjadi bencana, penyediaan informasi kawasan rawan bencana, informasi ketersediaan logistik bahkan agent of information ini dapat dijadikan sebagai mitra yang turut serta mengkritisi kebijakan Pemerintah.
Gagasan tersebut di atas timbul atas keprihatinan penyebarluasan informasi yang sumir dan overdosis mengenai kebencanaan, yang pada sisi lain hal tersebut merupakan indikasi belum mawasnya bangsa kita terhadap penggunaan media sosial. Diharapkan bangsa kita tidak akan dikenal dengan bangsa yang latah dan panik atas teknologi informasi yang dari dahulu kala hingga pak kalla cuma bisa buat panik dan hanya bisa pajang hastag “#prayfor…”, namun semoga bisa dikenal dengan bangsa yang “Siap, Sigap, dan Tanggap terhadap Bencana”.
Jika Edward Norton Lorenz pada tahun 1961 mengenalkan teori chaos yang merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texaz beberapa bulan kemudian, maka pada hari ini penulis mengemukakan bahwa satu sentuhan ujung jari di atas mobile phone dapat menebar pesan kehidupan (bukan pesan kepanikkan) ke seluruh gugusan pulau nusantara dengan menyemukkan jaraknya dalam hitungan detik. (rol)
*Penulis adalah fasilitator Workshop Mitigasi Bencana Mahupala FH Universitas Bengkulu.