Jakarta, helloborneo.com – Jokowi mengumumkan itu usai meninjau langsung pabrik baterai sel pertama dan terbesar di Asia Tenggara tersebut.
“Ya tadi yang PT HLI Green Power itu nanti mulai awal tahun akan memproduksi 30 juta baterai sel yang itu akan bisa digunakan untuk i kurang lebih 180 ribu mobil. Itu terbesar di Asia Tenggara. Pertama di Asia Tenggara dan terbesar di Asia Tenggara saat ini,” ungkap Jokowi.
Ia menjelaskan, keberadaan pabrik tersebut merupakan bagian dari pembangunan ekosistem besar kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang menjadi cita-cita pemerintah. Dengan begitu, katanya, diharapkan Indonesia akan bisa masuk dan merajai rantai pasokan global kendaraan lsitrik.
“Rantai pasok global bisa kita masuki. Di situlah nantinya ketergantungan negara lain terhadap baterai sel kita, ketergantungan negara lain terhadap EV baterai kita di situ,” imbuh Jokowi.
Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang turut mendampingi presiden mengatakan pabrik sel baterai tersebut sudah mulai melakukan uji coba produksi.
“Alhamdulillah dua tahun yang lalu, tepatnya hari ini kita melakukan groundbreaking terhadap pembangunan baterai mobil, sel baterai, dan dua tahun kemudian ini sudah jadi. Sekarang produknya sudah ada, sekarang sedang terjadi trial and error. Mungkin bulan Maret tahun depan sudah berproduksi,” ujar Bahlil.
Menurut Bahlil, pabrik tersebut telah menerapkan teknologi terbaru dari perusahaan multinasional LG dalam produksinya. Dari lima pabrik milik LG di dunia, yang sudah menggunakan teknologi terbaru adalah pabrik di Indonesia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kunjungan Presiden Jokowi kali ini dilakukan untuk meninjau tahap kedua ekspansi produksi pabrik tersebut sebesar 20 GWh. Jika pabrik tersebut telah terbangun, katanya, maka kapasitas produksi menjadi sebesar 30 GWh.
“Jadi nanti LG-nya akan membangun 30 Giga, dan ini adalah komitmen investasi yang kami sudah bicarakan selama ini, yang sering kita ngomong soal produksi baterai mobil, dan alhamdulillah sekarang sudah muncul,” ungkapnya.
“Inilah yang menjadi cita-cita bapak presiden yang diarahkan selalu kepada kami, menterinya, untuk membangun hilirisasi. Jadi apa yang disampaikan bapak presiden selama ini, itu bukan hanya omongan-omongan tapi ini adalah bukti nyata dan ini adalah betul-betul memakai teknologi tinggi. Dan nanti yang akan mengoperasikan anak-anak Indonesia karena sudah dikirim mereka, 100 orang lebih ke Korea untuk mereka belajar di situ,” tambahnya.
Mampukah Indonesia Menjadi Raja Kendaraan Listrik di Masa Depan?
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan jalan Indonesia untuk menjadi raja kendaraan listrik masih cukup panjang dan berliku. Salah satu alasannya, kata Bhima, adalah karena pemerintah hanya melakukan pendekatan dari sisi bahan baku baterai kendaraan listrik yang dimiliki oleh Indonesia yakni nikel yang diprediksi akan habis dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan mengingat eksploitasinya yang masif.
“Itu ternyata satu teknologi sudah berubah. Tesla saja sudah lebih banyak menggunakan baterai dari lithium iron phosphate (LFP). Dan kemudian cadangan nikel kita semakin berkurang. Jadi untuk menjadi raja di baterai kendaraan listrik sekarang yang bisa dikejar adalah bisa menjadi hub-nya saja, hub yang kompetitif. Dari sisi tenaga kerja juga harus bisa produktif, sehingga daya saingnya lebih ke menjadi assembly center dibandingkan dengan mengandalkan bahan baku,” ungkap Bhima.
Lebih jauh, Bhima mengatakan adanya kemungkinan terfragmentasinya rantai pasokan baterai kendaraan lsitrik mengingat sebagian besar smelter pengolah nikel mengekspor hasil produksinya yang berupa bahan baku baterai listrik ke China. Dengan begitu, katanya, pemenuhan industri baterai kendaraan listrik di dalam negeri sendiri berkurang.
“Di ekspor ke China, perusahaan di Indonesia yang mengelola smelter dan hilirisasi juga milik China. Jadi begitu mereka dikirim ke China otomatis untuk pasokan hilirisasi industri dalam negerinya berkurang. Sementara China juga akan mengekspor baterai dan mobil listriknya ke Indonesia. Jadi ada fragmentasi yang putus karena smelter nikel ditujukan lebih ke ekspor, jadi bukan untuk pemenuhan pasar domestik,” katanya.
Secara keseluruhan, kata Bima, hilirisasi industri yang dilakukan pemerintah belum berjalan cukup maksimal. Pemerintah katanya perlu mencari cara lain agar pembangunan ekosistem kendaraan listrik tersebut berkelanjutan.
“Sekarang hilirisasi masih setengah jalan, ya karena mungkin insentif untuk impor kendaraan listrik masih diberikan, sehingga memang preferensi perakitan termasuk baterai listrik sebagian besar tidak dilakukan di Indonesia. Cuma, kita lihat positifnya apakah ini bisa terjadi substitusi baterai yang selama ini kita impor dan juga harus dicari alternatif selain dari nikel yang bisa menjadi bahan baku baterai juga seperti misalnya dari besi baja,” pungkasnya. (voai/log)